Cerpen Sabtu, PERANG DAN KISAH LAINNYA - yudhie Haryono



Di zaman modern, perang adalah tidak tak terelakan. Mukidi yang membuatnya jadi banyolan. Di zaman global, akal dan kejeniusan adalah modal. Mukidi yang membuatnya jadi sampah dan kedunguan. Sungguh, pemimpin sejatimu takkan pernah sanggup untuk menyakitimu. Tetapi, kesejatian pemimpin itu mirip iman: yazid wa yangkus.

Pemimpin sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu. Tetapi, kelupaan pemimpin itu momen kritis bersendi akal: sihah wa marid. Pada jantung ini banyak manusia Indonesia menjejer luka dan kecewa untuk sakit dan menggigil secara berulang: mukidi penyebabnya.

Mukidi blusukan di antara siang dan malam. Maka, yang tertinggal hanya kesepian, kepapaan dan kepedihan. Mukidi menimpuk akal sehat menjadi bejat: bohong berulang-ulang. Kalian tak sadar bahwa kebohongan yang berulang akan menjadi kebenaran. Ini firman tidak tak terbantahkan.

Kita bernyanyi di antara sungai dan gunung. Tetapi yang terdengar hanya puisi Mukidi. Maka, tinggallah kedunguan-kedunguan. Alih fungsi kemanusiaan. Saat eksekutif menjadi komentator dan pemilik rumah, bayar kontrakan (pakai duit utangan). Kok bisa mengambil alih hak milik sendiri dengan cara membayar?

Mukidi berfatwa di antara rumah dan pagar beton. Media-media terhipnotis mirip anjing lapar menerkam tulang. Akhirnya, yang ada hanya kegaduhan, drama dan telenovela. Kini semua telah pergi, semua tergadai, semua terjual murah. Ada yang diwariskan ke gundik. Banyak yang bosan hidup. Sebab, secerdas apapun prestasi sekolahnya, kemungkinan besar ia hanya jadi tukang ojek online.

Keren. Mukidi membuat dunia, tinggal kita dan Tuhan. Lalu, kita bertanya, buat apa kehidupan, buat apa penciptaan. Sebab, tak ada lagi beda antara sedih dan bahagia. Yang tersisa hanya hampa hambar dirasa. Sepi tak mati, tetapi Mukidi membuatnya jadi damai tak hidup.

Zaman mukidi berkuasa, berpancasila menjadi mengkoloni dan memperbudak warga negaranya sendiri dan bangga akan hal ituh. Bangga sekali, sekaligus lupa diri.

Zaman mukidi duduk di kursi kuasa, berpancasila menjadi sinergi yang mendorong kita semua untuk rakus, utang, berbohong, gotong-nyolong dan mendendam pada sesama. Luwarbiyasa ini kurikulumnya.

Zaman mukidi melukis namanya, berpancasila menjadi berkorupsi, berkolusi dan bernepotisme ria di mana saja dan kapan saja. Percayalah. Kerjakanlah. Hanya itu tafsirnya terhadap pancasila. Badan negara pengelolanya sempat dibuatnya demi citra belaka. Kepada ulama muda dan tuhan, ia mengemis fatwa.

Tuhan dan mukidi, apa mau kalian kini. Zaman dan peradaban, apa target kalian kini. Sejarah dan masa depan, apa fungsi kalian kini. Sebab, Indonesia rindu mati, Mukidi membuatnya jadi bosan hidup. Hidup aslinya itu rajin. Mukidi membuatnya jadi malas. Untuk yang kesekian kali, Mukidi ingin kursi yang kedua. Bukan untuk perang, tapi untuk sesuatu yang Mukidi tak tahu.

Hidup itu bahagia. Mukidi yang menjadikannya terpenjara. Hidup itu tertawa. Mukidi yang membuatnya menangis. Hidup kita kaya. Mukidi yang membuat kita miskin. Hidup itu sehat. Mukidi yang membuat kita sakit. Kini, ujian terbesar kita adalah "fundamentalisme mukidi." Ia menjadi virus yang diupacarakan dengan denting suara gitar di rumah bordil dan tower judi, serta rumah keren lainnya.

***

0 comments:

Post a Comment