BERHARAP ITU BERAT - Yudhie Haryono



Demokrasi Maling yang sedang berlangsung adalah jeda mengisi kekosongan dan kehampaan hidup di republik blusukan tanpa ujung sambil menghibur diri semoga masih ada esok.

Mestinya waktu kita hentikan. Pastinya zaman kita tuliskan. Agar segala angan jadi kenyataan. Agar segala cita-cita tergenggam di tangan. Meleburkan semua batas. Mencipta hibridasi. Antara kau dan aku. Gotong-royong. Sebab aku cinta kamu. Dan, kamu cinta aku. Dalam gelak tawa samudra. Serta puisi-puisi Rumi. Plus celoteh Ghibran di ujung kampus dan tikungan.

Aku menulis puisi dan kidung untukmu. Engkau tetap diam. Aku kirim cinta dan rupiah untukmu. Engkau tetap membisu. Padahal, surat-surat cintaku jika dijilid akan lebih tebal dari kitab suci manapun. Sebab di dalamnya ada tulang dan air mata yang teradon dalam setrilyun kerinduan.

Menulis buatmu itu mengetik masa depan. Separonya harapan, sisanya kepahitan. Dua yang satu tetapi berkelindan. Terbagi antara kutukan dan takdir; prestasi dan kesetiaan. Maka perlu hentakkan jibril agar kita siuman. 

Tetapi, pada suhu apa cinta kita mendidih kembali? Bukan tungku dan listrik, tentu saja. Tapi dalam hati dan nalar semesta.

Mungkin karena pustaka buat warisan!

Jika ada tragedi yang tak cukup ditulis dengan seluruh pohon di dunia yang dijadikan pena, itulah sejarah tragedimu. Jika ada kerinduan yang tak cukup ditulis dengan seluruh air di alam raya sebagai tinta, itulah kisah rinduku padamu. Kau tau? Tetap diam.

Antara kecerdasan dan keajaiban. Yang terentang lapuk dan terkejam kikuk. Tentang udara yang tak lagi sejuk. Jiwa-jiwa tercerabut dari nostalgia. Di kala terbang, hati meradang. Di kala tidur, nalar mendengkur. Ya. Engkau hilang di antara ampas peradaban dan batu arang. Tak ada di musium. Dikhotbahkan sekaligus dicomberkan.

Merindukanmu seperti merindukan Tuhan. Hanya dogma dan mukjizat saja. Tak bertemu baunya walau di rumah ibadah dan bakar dupa.

Merindukanmu seperti rindu subuh pada ashar. Hanya kejauhan dan kekosongan. Ada fotamorgana yang bisa dilukis membentuk asa.

Beberapa kali menulis namamu di lembaran kertas uang seratus ribu. Beberapa kali di nisan kuburan. Beberapa kali di gemuruh ombak lautan.

Maksudnya agar hantumu keluar dari hutan. Tapi yang diceritakan hanya tinju pada udara: kosong dan pataka. Merindukanmu menumpuk duka. Sesal tiada guna.

***

0 comments:

Post a Comment