Cerpen "IA DAN HANTUNYA" - Yudhie Haryono



Semula hanya kekalahan. Berawal dari ketaksanggupan menanggung takdir derita. Aku sedang menuliskan hal yang paling sederhana saat mengirim ketikan rindu ini padanya dan hantunya.

Tentu. Bersama tumpukan air mati di suatu senja, di suatu musim kecurangan tengah tahun ketika pemilu dan bunga-bunga deposito bermekaran. Di antara pasar Kratingdeng dan sungai Serayu.

Juga tentang ingatan tentang nalar perlawanan yang makin keemasan serta menua di kaki-kaki peradaban nusantara. Yang agensi begundalnya singgah di istana negara dan kita biarkan berkibar merampok SDA dan SDM anak-anak yang tak layak bekerja.

Lalu, kita saling bercerita tentang seorang pria dan seorang perempuan yang patah hati: putus harapan. Kemudian masing-masing menghabiskan sisa hidupnya untuk menulis dan menangis. Sebab kata para pujangga, cinta yang tertolak dan bertepuk sebelah kaki adalah kisah yang paling indah untuk diabadikan dalam sebuah kisah.

Maka, saat keduanya menjumlah luka-lukanya dalam kalimat atau air mata akan menjadi simbol sebuah judul dari yang pernah dikenang sebelum lekang. Enigma dan nostalgila. Epistema dari anarkhi kejumpaan berikutnya.

*

Engkau. Wahai penjungkirbalik hati. Ketikkan padaku, sekali lagi tentang takdir enigmatis itu dan symtom ini. Seperti puisi legenda para nabi yang berpoligami, dan tentu mampu mencinta dan bercinta dengan banyak tipe perempuan sehingga tak sanggup setia pada salah satunya saja. Digilir. Dipercundang. Dijadikan harap dan hempasan.

Dan, dua manusia itu yang sedang meminta mati itu, mungkin baru pertama kali jatuh cinta. Yang berjuta rasa. Tentu, pada lawan jenis yang mampu membuatnya menjadi seorang penyair, sastrawan besar mirip Kahlil Gibran. Bukan mirip penjudi pezina di istana negara.

Kini. Di saat gerimis saat tengah malam, di suatu musim bunga deposito tengah tahun ketika pilpres jadi awal revolusi: kekuasaan jadi bau amis. Kuasa yang melahirkan satu puisi perlawanan.

Dari sejumlah kelahiran dan kematian yang dititipkan pada bibir keduanya agar saling mengecup. Satu gairah yang dipenuhi sejarah masa lalu yang gemilang prestasi plus janji-janji.

Saat mendaras kitab, semua bagai senandung lirih lagu rindu penuh cemburu burung-burung ababil yang kembali ke sarangnya. Mereka yang hatinya patah dan memilih menulis kegundahan untuk menundukkan cinta di bawah laras sepatu polisi kolonial sebelum matahari yang keemasan menua di bawah umur tua: ditembak laras tentara hasil impor dan korupsi komandannya. Menunggu buka puasa. Atau bagaimana.

Sepertinya, keduanya jadi hantu yang meniduri taman batu guna menumbuhkan hutan dengan dupa dan doa.

***

0 comments:

Post a Comment