MEMPRODUK KEWARGANEGARAAN - Yudhie Haryono



Merenungi pancasila. Menghidupi indonesia. Air mata ini menyadarkanku. Bahwa keduanya tak menjadi tabula rasa. Keduanya takkan pernah jadi milikku. Keduanya bersatu untuk saling berpisah. Maka, air mata ini menyadarkanku. Sesadar-sadarnya. Bahwa kalian takkan pernah menjadi milikku.

Tentu saja. Aku tak pernah mengerti mengapa aku segila ini. Memikirkan, merenungi, menghidupi, merindukan. Sampai-sampai aku hidup untukmu, tetapi aku mati tanpamu. Sungguh. Sesungguh-sungguhnya aku tak pernah menyadari bahwa aku setolol ini. Setolol-tololnya. Sampai-sampai aku hidup untukmu, tetapi aku mati tanpamu. Aku menunggumu, engkau mengkhianatiku. Aku mengundangmu, engkau tak mempedulikanku. Tak peduli. Tak pernah peduli.

Semalem aku membuka kembali naskah, risalah dan foto-foto masa lalu. Tua dan berdebu. Teronggok dan tak terawat. Umur dan nasibnya separah hatiku.

Dalam kelelahan perjalanan (passing over), aku tertidur dan bermimpi memberimu mukena dan berucap selamat menjumput ramadan. Kita berjalan melewati jembatan Deai-bashi di sungai Shokawa di kota Shirakawa, Jepang punya. Musim salju. Semua memutih. Tak ada masa depan. Tak ada masa lalu.

Lalu kuselipkan kembang Kyoto di tanganmu yang gigil dan keriput. Sungguh mulia menjadi tua dan berguru plus bergurau padamu denganmu. Kau yang tua tetapi selalu merasa benar. Menjadi ontanis padahal arabis. Menjadi arabis padahal iblis.

Membaca balasan-balasan ketikanmu seperti membaca kitab Negarakertagama. Penuh simbol dan teka-teki. Gambar-gambarnya adalah doa. Optimisme dan keyakinan. Teruslah menjadi hantuku. Sebab sudah kau putuskan tak sudi jadi bintangku.

Tuhan. Kini kutahu. Teman-temanku terlalu miskin untuk memberontak/terlalu lemah untuk berbaris/terlalu pragmatis untuk berjuang/terlalu bodoh untuk revolusi/terlalu fokus beribadah/terlalu jauh tersesat/

Kini kutahu. Tak ada harapan/membunuh kejahiliyahan/mengusir penjajahan/menikam mati neoliberalisme/membuang mental kolonial/

Ke mana dan kepada siapa kini aku harus bercerita tentang gelapnya dunia dan jahatnya zaman? Tak ada yang menarik hati kecuali mati. Tak ada kejuangan di republik ini kecuali pergundalan, perbudakan dan pergundikan. Kasih, lelahku kini tak berbahu.

Hantu, ada apa sih kamu dengan Hutan dan Tuhan? Jika kaum mudanya tidak berontak saat kaum tuanya khianat, apa yang akan terjadi?

Saya iba dan kasihan melihat Indonesia. Bangsa lain sudah membuat road map mengkoloni planet di angkasa, kita masih belajar hitung manual; tipu sani-sini; KKN tak henti-henti. Itupun tak lulus. Jahiliyah turun-temurun.

MENGULANG. Kini mereka mengulang kejahatan purba. Berkhianat untuk sebuah kursi. Ya. Memang semua orang mampu menanggung kekalahan, seperti mereka yang oposan selama berpuluh tahun. Tetapi, jika kita ingin melihat mental sesungguhnya dari seseorang, beri dia kursi saja (tahta, harta dan sex). Kita akan segera tahu watak aslinya yang rakus dalam menumpuk kejahiliyahan dan menternak kedunguan.

Maka, tanpa memproduksi warganegara unggul yang bertradisikan iptek-industri, peradaban kita akan makin tertinggal dan punah. Terlebih, dalam Indeks Inovasi Global 2019, Indonesia hanya berada di peringkat 85 dari 129 negara. Bahkan di ASEAN kita berada di urutan ke-7 atau dua terendah. Negara Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54) dan Brunei (71). Selamat hari kebangkitan nasional.

***

0 comments:

Post a Comment