Kuliah Pertama, "MENYOAL KEMAKMURAN" - Yudhie Haryono



Pada tahum 2015, The Legatum Institute mengeluarkan daftar indeks kemakmuran negara-negara sedunia. Berdasarkan data indeks kemakmuran tersebut, Indonesia berada di urutan ke-69 dari 142 negara. Meski demikian, posisi Indonesia naik 21 peringkat dibanding tahun sebelumnya.

Lumayan! Yang jadi soal adalah, mengapa kemakmuran kita belum maksimal di tengah keberlimpahan SDA? Mungkin jawabannya karena kita mengalami kutukan sumber daya alam dan kutukan keberlimpahan.

Tetapi, di luar dua hal tersebut, kita juga terperangkap pada konsepsi "kesejahteraan individual." Dus, bukan kesejahtetaan negara (welfare state) apalagi kesejahteraan warga (welfare society) yang jadi matriks dan tujuan. Konsep kesejahteraan individu ini didesain dari matriks iklan dan tipuan. Artinya, tiap individu diperangkap oleh pasar untuk hidup dari, oleh dan untuk dirinya. Jadilah individu serakah.

Lahirlah masyarakat iklan. Bukan masyarakat sejahtera. Inilah konstruksi ralitas kehidupan yang terjadi sekarang di Indonesia. Realitas masyarakat konsumeris yang hidup berdasarkan angka-angka.

Dalam masyarakat (ber)konsumen, konsumsi tidak mendapatkan tempat sebagai pemenuhan kebutuhan. Tapi, ia hadir sebagai prestise sosial belaka. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama tak jadi ontologi. Apalagi epistema dan aksi-aksi.

Kehidupan konsumerisme ini disebabkan oleh iklan yang mendominasi kehidupan. Iklan produksi pasar, juga kreasi individu serakah yang berbentuk oligark. Iklan yang menyajikan sebuah realitas non-riil yang kamuflatif bin sorgawi. Lahir dan berkembanglah "komodifikasi apa saja via iklan yang memanipulasi masyarakat penikmat iklan."

Para penikmat ini mengembangkan dan mentradisikan balik, arus iklan awal yang mereka terima. Jadilah pusaran resiprokal. Mereka tak bisa lagi keluar dari cengkraman itu. Bahkan berpikir solusi saja tidak. Apalagi mencipta "jalan keluar."

Tentu, akibat berputar-putar di seputar negeri iklan; konsumsi iklan; resiprokal iklan maka lahirlah hiperrealitas yang berbentuk galaksi simulakra. Selebihnya, kita tak lagi hidup bersama, apalagi menempuh kemakmuran bersama.

Kemakmuran menjadi ilusi. Kemakmuran bersama menjadi mati. Terkubur bersama ketiadaan kesadaran diri. Tentu ini pekerjaan besar kita semua. Sebab, kemakmuran bersama itu cita-cita utama kita dalam bernegara.

***

0 comments:

Post a Comment