INGATAN DAN PERTEMANAN - Yudhie Haryono



Telah lama bangsa ini mengkayakan bangsa lain, sambil memiskinkan bangsa sendiri. Telah lama negara ini memuliakan pendatang, sambil melecehkan penduduk asli.

Telah lama warganegara ini menyembah warganegara lain, sambil melecehkan kawan dan teman sendiri.

Maka, kini kita sedang melihat kalimat, "a settled home for white and asenk settlers." Kondominium dan reklamasi dijadikan model pemukiman. Tax amnesty dijadikan andalan. Blusukan dijadikan pencitraan. Konstitusi hanya pajangan. Pancasila hanya alat pemupuk kekayaan.

Maka, kini kita sedang menikmati sekolah asing, kurikulum asing, agama asing, bahasa asing, uang asing, etika asing, aturan asing, undang-undang asing dan pelacur-pelacur asing membanjiri seluruh pelosok nusantara. Terutama kebijakan publik.

Ingatan kita akan kedaulatan, punah. Pertemanan kita akan kemerdekaan, absen. Cita-cita kita akan kemandirian, hilang. Harapan kita akan kemodernan, menguap tak tentu arah. Semua tertelan monoterisme dan ekonometrika.

Tak ada lagi, kurikulum postkolonial dan studi nusantara yang mengajarkan remembering, revitalizing, rewriting, representing, reindependenting dalam seluruh sejarah kehadiran Indonesia di muka bumi.

Maka kini, betapa sedih melihat kawan Joko Widodo menerjemahkan kekuasaannya menjadi, "democracy Indonesia is government off the people, buy the people and force the people."

Inilah mengapa Joko Widodo yakin kebebasan demokrasi harus dimaknai sebagai pelumas bagi "ketidakadilan semesta" demi memastikan kesenjangan akut dengan satu model pembangunan: mengusir si miskin, bukan menggusur kemiskinan; menyubsidi para koruptor besar, bukan menggantungnya; menjual cepat aset negara, bukan mengembangkannya; menyetor cepat modal utangnya, bukan menasionalisasi; termangu dalam utang-utang baru, bukan efesiensi dan rekapitalisasi.

Yang mulia romo Joko Widodo dkk. Ingatlah. Jahiliyah itu tidak berumah. Ia suka singgah di mana pun sekehendaknya. Sesekali mampir di istana. Terkadang hidup di kampus dan rumah ibadah. Terakhirkali berwajah culun dan suka blusukan sambil menyalahkan masa lalu di kursi kekuasaan. Sampai-sampai tak paham makna kuasa; tak ngerti kursi; tak sadari senjata yang dimiliki.

Jagad Dewa Batara, maafkan hamba. Kusadari akhirnya kerapuhan imanku. Telah membawa jiwa dan ragaku. Ke dalam dunia yang tak tentu arah. Limbo, keluar dari kere dan kiri.

Kusadari akhirnya. Kau tiada duanya. Tempat memohon beraneka pinta. Tempat berlindung dari segala mara bahaya. Oh Tuhan, mohon ampun. Atas dosa dan salah selama ini. Aku tak menjalankan perintah-Mu. Tak perdulikan nama-Mu. Tenggelam melupakan diri-Mu.

Oh Tuhan mohon ampun. Atas dosa dan khilaf. Sempatkanlah aku bertobat. Hidup di jalan-Mu. Tuk penuhi kewajibanku. Sebelum tutup usia. Kembali pada-Mu.

Tuhan. Aku kini tahu. Memukan problemnya, rumuskan metoda pemecahannya, pilih pemimpin yang mampu menyelesaikan problemnya. Itulah demokrasi Pancasila.

Lawannya sebaliknya. Membuat kegaduhan, mengundangkan voting, laksanakan jual-beli suara. Mengagamakan KKN. Itulah demokrasi liberal.

Maka kini Tuhan, kudoa. Tuhan, bimbing kami dalam revolusi! Tuhan, restui kami untuk kudeta. Tuhan, mohon kemenangan dalam rekonstitusi.

***

0 comments:

Post a Comment