Cerpen, DESA KECILANYA INDONESIA - Yudhie Haryono


Tak ada di peta ilmu bumi. Tetapi, jika kau tak tahu Kecila, kau tak tahu Indonesia. Sebab, setahu hamba, Indonesia itu bagian dari Kecila. Pada nasib hampir sejahtera, penduduknya tiba-tiba mengerti, dan punya jerit suara hati. Di sanalah ayat-ayat disucikan. Hadis-hadis dipelajari. Dan, peradaban coba dihadirkan.

Tentu letih. Pasti lungkrah meski mencoba melabuhkan rasa yang ada, pikiran yang hadir. Serta tindakan yang tak begitu mulia. Di sana. Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu. Di sana. Dibangun jiwanya. Ditempa raganya. Ditakdirkan salah satu penduduknya akan memakmurkan seluruh dunia.

Kasih. Temani aku. Usap air mataku. Air mata pemberi kisah tetesan lara. Lalu, kita merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi. Kau tahu? Perjalanan ini tidak tak terselesaikan. Apalagi jika ditempuh dengan sepeda.

Kehidupan manusia di desa Kecila selalu menjadi misteri bagi siapapun. Masa depan warganya sulit untuk ditebak. Nasib penghuninya membuat pendatang penasaran akan seperti apa kehidupan mutakhirnya. 45 tahun kulihat, desaku sami mawon nasibnya.

Di sana, banyak orang yang terlalu memikirkan masa depannya sehingga tidak menikmati masa-masa yang dijalani pada saat ini. Karenanya, nasib baik dan semangat selalu dibutuhkan oleh kita untuk selalu berpikir positif tentang kenestapaan agar menikmati kehidupan pada masa sekarang dan yang akan datang.

Kasih. Cinta akan membawamu kembali ke sini, menuai rindu. Memelukku. Kangen akan mengembalikan akalmu, memanen keutuhan. Jelita akan memastikanmu, menggoreng ikan guramih yang kita ternak di sawah-sawah.

Engkau itu rajawali yang indah. Tak pernah mengemis untuk ditangkap. Tak pernah menolak untuk dilukai. Engkau yang bersinergi dengan keadaan dan ketiadaan. Kehidupan dan kematian. Kehadiran dan kefanaan.

Kata penyair Rendra, "langit tanpa rajawali adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma. Orang boleh saja bicara di tujuh langit, tujuh syorga, tujuh cakrawala, tujuh pengembara. Tetapi rajawali tetap terbang tinggi memasuki sepi, memandang dunia di sangkar besi. Duduk bertapa mengolah hidupnya."

Desa ini. Keasrian ini. Pasti membasuh perihmu. Pasti membawa serta dirimu. Menenteng sebakul senyummu. Dan, kutahu dirimu yang dulu mencintaiku apa adanya. Bukan pengumpul duka. Bukan pemintal lara.

Kasih. Saat ujung malam kuselalu mencarimu. Jika ketemu, mau kubagi rindu. Karena Allah membagi-bagi rizki buat hambanya antara subuh dan terbitnya matahari (HR. Kirenak).

Hantu. Saat tengah siang kuselalu menyebut namamu. Untuk mentransfermu pulsa. Karena Allah menunggu doa para hamba yang mencari cinta di sepanjang usia (HR. Azzaleak).

Hutan. Saat akhir hari kuselalu meyakinkan diri bersujud menangis. Untuk mengirimkan buku-buku. Karena Allah menyusun nasib hambanya antara kebahagiaan dan kesusahan (HR. Al Batrisyiak).

Kasih. Di pematang sawah. Di pinggir kuburan. Saat kita duduk tertawa memanen padi. Di pinggir-pinggir sungai. Saat dusta mengalir, jujurkanlah hatimu padaku. Saat pengkhianatan terukir, luluhkanlah jiwamu pada semesta. Agar semua tidak nggresula.

Kasih. Genangkan batin jiwamu, genangkan cinta kasihmu. Seperti dulu, saat bersama, tak ada keraguan. Tak ada saling sengkarut. Melintasi ujung kota Buntu dan Kota Sumpiuh. Minum air kelapa dan terdampar di pantai Widarapayung. Telan gorengan yutuk. Dan, kemlekeran nasi pecel.

***

0 comments:

Post a Comment