KUPATUHI FATWA CINTAMU DALAM JIWAKU - Yudhie Haryono


Optimis. Senyum yang manis. Begitulah sang Yesus memberi contoh menikmati kehidupan yang tragis. Kasih sayang. Amanah dan toleran. Begitulah sang Muhammad menuliskan teladan kehidupan. Maka saat engkau mengirim surat cinta yang puitik bertuliskan kalimat, "Bukan waktu terbuang yang harus disesali, melainkan waktu tersisa yang harus disiasati," aku tertegun; takjub dan jatuh hati.

Engkau berkata, "Berdamailah dengan masa lalu, dan mulailah menerima, memahami, merasakan kenangan sebagai penanda menuju fase pengalaman berikutnya. Sebab, tiap-tiap yang berjiwa akan mati. Lalu, hanya kepadaNya kita akan kembali (QS Al Ankabut: 57)." Indah betul fase ketikan dan fatwamu untukku. Engkau berseri-seri dan bersinar wajah tiap membacakan surah. Wajahmu makin cantik jika tadarus dan bercinta di pinggir kolam renang yang tak seekor kodokpun mengintipnya.

Dunia makin renyah jika mulutmu bersenandung doa, ”Ya Rabb, izinkan kami memiliki sisa umur yang benar; matikanlah kami dengan khusnul khotimah; ampunilah kami karena menghianatiMu; jadikan harta yang Engkau titipkan benar-benar dapat menjadi cahaya dalam kubur kami kelak; jadikanlah salat-salat kami sebagai penerang di alam barzahMu; jadikan doa-doa anak-anak kami sebagai peluas kubur kami." Lenguh orgasmemu kemudian memuncaki ibadah terbesar sepanjang umur. Engkau perawan abadi yang tersaji indah bukan hanya dalam khayalan semu.

Kasih. Inilah kisah dan keluhku. Di sinilah aku berdiri bekerja berdoa menunggumu dan memeluk mati. Alam yang terpisah meremukkan semua kisah. Kekayaan batin dan buku-buku sudah lusuh tak lagi laku. Mereka membusuk bersama debu-debu. Salju terbakar kepedulian. Hujan terkerek puisi para seniman. Tinggallah si jahil dan si rakus mewariskan telenovela tak berkesudahan. Salamku untuk murid-murid terkasihmu.

Kasihku. Cintaku. Kangenku. Sebagai ungkapan rindu yang bertalu-talu, kuhadiahkan cerita mistis ini buatmu.

"Alkisah, seorang lelaki berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu.

Ia membungkuk dan menggerutu kecewa. "Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok."

Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank. "Sebaiknya koin ini dibawa ke kolektor uang kuno", kata teller bank memberi saran. Lelaki itu membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai 30 dollar.

Lelaki itu begitu senang. Saat lewat toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga 30 dollar untuk membuat rak buat istrinya. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu bermutu yang dipanggul lelaki itu. Dia menawarkan lemari 100 dollar untuk menukar kayu itu. Setelah setuju, dia meminjam gerobak untuk membawa pulang lemarinya.

Dalam perjalanan dia melewati perumahan. Seorang wanita melihat lemari yang indah itu dan menawarnya 200 dollar. Lelaki itu ragu-ragu. Si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Senang sekali. Tuhan maha baik, batin lelaki ituh.

Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Tiba-tiba seorang perampok datang, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya dan bertanya,

"Apa yang terjadi? Engkau baik-baik saja kan? Apa yang diambil perampok tadi?"

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi."

Kasih. Bila kita sadar bahwa sesungguhnya kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki, karena ketika datang dan pergi, kita tidak membawa apa-apa.

Maka, menurutku menderita adalah karena melekat. Sedang bahagia adalah karena melepas. Demikianlah hakikat sejatinya kehidupan. Apakah sebenarnya yang kita punya dalam hidup ini? Tidak ada, karena bahkan napas saja bukan kepunyaan kita dan tidak bisa digenggam selamanya. So, hidup itu perubahan dan pasti akan berubah. Saat kehilangan sesuatu, kembalilah ingat bahwa sesungguhnya kita tidak punya apa-apa. Jadi "kehilangan" itu tidaklah nyata dan tidak akan pernah menyakitkan. Kehilangan hanya sebuah tipuan pikiran yang penuh dengan ke"aku"an. Ke"aku"an itulah yang membuat kita menderita. Rumahku, hartaku, istriku, suamiku, anakku.

Kita semua lahir tidak membawa apa-apa, meninggalpun sendiri, tidak bawa apa-apa dan tidak ajak siapa-siapa.

Pada waktunya "let it go", siapapun yang bisa melepas, tidak melekat, tidak menggenggam erat, maka dia akan bahagia walau tak selamanya.

***

0 comments:

Post a Comment