KISAH-KISAH KECULUNAN - Yudhie Haryono


Kalian terus berisik. Padahal kemacetan makin membuat panik. Hidup makin mencekik. Maka, hanya pada malam, warga bisa bersembunyi. Saat semua penegak hukum tajam menyiksa kaum miskin dengan pisau yang menukik.

Pisau yang seuplik jika berhadapan dengan asing-aseng-asong yang tengik. Taukah kalian kata kamus postkolonial soal-soal mereka? Kaum tengik yang menempati elite Indonesia adalah gerombolan yang mencintai sesuatu dengan cara harus memiliki, mengkomodifikasi dan mengeksploitasi segala kelebihan sesuatu tersebut sampai ia tak terjangkau oleh orang lain.

Itulah mereka yang mewarisi dan mentradisikan mental kolonial. Kalian tahu, sampai hari ini ditemukan ada 35 karakter kolonial sebagai penghambat kemajuan Indonesia.

Tetapi dari 35 tersebut ada lima besar yang dapat dijumpai pada diri mereka sehari-hari.

Pertama, mental inlander. Yaitu sikap takut, memuja, takjub dan minder terhadap bangsa asing. Sikap inilah yang membuat UU kita sering berpihak ke asing daripada warga sendiri.

Kedua, mental instan. Akibat langsung dari inlanderisme ini manusia Indonesia mengembangkan kelakuan instan. Yang penting hasil sambil melupakan proses.

Impor dalam segala hal, menyontek, pergi ke dukun, korupsi, nyogok dan money politic adalah bukti tak terbantahkan menjamurnya karakter instan. Bahkan makanan terlaris di republik indon juga bernama instan: mie instan dll.

Ketiga, mental mendendam. Karakter ini lahir karena keinginan cepat kaya, cepat berkuasa dan cepat terkenal tak mudah didapatkan maka ketika dapat, ia mendendam dari masa ketika miskin, tuna kuasa dan tidak dikenal.

Balas dendam itu dikerjakan dengan menumpuk harta, memegang kekuasaan dengan segala cara (nepotisme). Tak ada perkaderan dalam karirnya, tak ada pemerataan dalam ekonominya. Maka, gaji tinggi tapi minim prestasi.

Keempat, mental melupa (autis). Tentu saja, siapa punya tingkah dendam akan lupa. Proses melupa ini khas warga negara poskolonial.

Karena itu problem negara-negara poskolonial adalah "membariskan ingatan melawan lupa." Warga negara poskolonial mengidap pendek ingatan dan menjadi kawanan penjejer luka serta lupa. Sebelum berkuasa, ia berjanji apa saja. Begitu berkuasa, ia bekerja melupakan janji-janjinya.

Kelima, mental miopik atau rabun. Ia tak mampu melihat "sejarah masa lalu dan strategi masa depan." Yang ada dalam pikirannya: kalau bisa diperlambat kenapa dipercepat, kalau bisa impor kenapa harus berproduksi.

Karena rabun, ia tak kuat iman. Sebab iman adalah soal jauh di akherat. Karena rabun, ia tak takut dosa. Sebab dosa adalah soal eskatologis. Ciri utama rabun adalah tak terima perdebatan-perdebatan sehat, jadi fundamentalis dalam segala hal.

Lima mental itu kini makin mendapati faktualnya. Mau tahu buktinya? Coba kita kutip omongan SMI yang juga produk manusia bermental kolonial. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap bahwa ada US$ 250 miliar atau Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang sangat kaya asal Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.

Dari jumlah tersebut, terdapat US$ 200 miliar atau Rp 2.600 triliun yang disimpan di Singapura, di mana US$ 50 miliar atau Rp 650 triliun disimpan dalam bentuk non-investable asset dalam bentuk real estat.

Sedangkan US$ 150 miliar atau Rp 1.950 triliun diinvestasikan dalam bentuk investable asset, seperti deposito, saham, dan surat berharga.

"Itu belum termasuk dana yang disimpan di negara lainnya, seperti Hong Kong, Makau, Labuan, Luksemburg, Swiss, dan negara tax haven lainnya, termasuk Panama," kata Sri Mulyani.

Ngeri bukan? Pasti tidak buat kalian. Sebab kalian sudah terlalu lama menderita sehingga berpikir saja sudah tak bisa. Aikhhh kok aku jadi begini melankolis dan sedih yang tak sudah-sudah?

Di seberang warung kopi dan di pinggir rel kereta api, kuingat keculunan-keculunanmu. Lelaki yang lakunya tak laki-laki. Diberi kesempatan merealisasikan janji proklamasi tapi yang dikerjakan hanya ilusi dan imaji kaya sendiri.

***

0 comments:

Post a Comment