FANTASI NEOLIBERAL - Yudhie Haryono


Kawan. Jika ada hal terjahat di alam raya ini, tak ragu kujawab para pelaksana ide neoliberalisme. Mereka pengiman kerakusan. Karena itu, janji neoliberal persis proklamasi para penjual kecap: mengiming-iming kenikmatan rasa. Di sorga mereka, katanya ada kesetaraan, kenikmatan; demokrasi dan kebahagiaan.

Mereka juga berfatwa, "individu berdaulat, karenanya kitab-kitab tak lagi penting, orang suci dan orang ideal nilainya sama dengan lainnya. Pesta dirayakan mirip doa istighosah. Malaikat libur. Syaitan tidur.

Keadaannya antropocentris. Karena manusia pusat pengendali segalanya. Prestasi masa lalu tak penting. Rekam jejak jadi mubazir.

Tetapi, lama kelamaan neoliberal kini mirip perempuan berumur 75 tahun. Dicium bau, dibuang sayang. Sebab ia menghidupi oligarki dan para penjilatnya.

"Kalian tahu mengapa neoliberal tumbuh subur di negaramu? tanya Ben Anderson padaku suatu kali." Aku diam menyimak, tidak berusaha menjawab. Sebab lebih baik terus mencatat hipotesa-hipotesanya.

Lalu, Ben menjawab sendiri pertanyaannya. "Karena kalian terlalu banyak memproduksi pengkhianat. Betapa berat tantangan kalian. Punya banyak warganegara yang malas baca buku tetapi rajin mengkhianati saat dapat kursi."

Para pengkhianat itu berniat korupsi di pikirannya jauh sebelum berkuasa, itulah elite ngendonesia. Memang tidak semua elite korupsi tapi setiap koruptor jadi elite.

Karenanya, kata kamus postkolonial: yang dimaksud elite Indonesia adalah seseorang yang mencintai sesuatu dengan cara harus memiliki, mengkomodifikasi dan mengeksploitasi segala kelebihan sesuatu tersebut sampai sesuatu itu tak terjangkau oleh orang lain.

Tapi kita bisa apa? Sebab, KINI FANTASI ITU DITERNAK DI ISTANA.
DI JANTUNG NEGARA

***

0 comments:

Post a Comment