Cerpen, DI TEPI SUNGAI SERAYU KURINDUKAN DIRIMU SERINDU-RINDUNYA - Yudhie Haryono


Sesak. Menggelegak. Antara putus asa dan teriak lara. Mengeja nasib. Menghitung bulir air mata. Di atas sampan bernama Ella. Teringat si kufur berfatwa, "kita harus jujur berkata bahwa tidak ada ciptaan-Nya yang sempurna sehingga kewajiban kita hanyalah saling mengingatkan, saling menasehati, saling meluruskan, saking melengkapi, gotong-royong serta saling mendoakan."

Engkau menjadi nama yang dieja seperti para peziarah melafalkan nama-nama wali. Engkau menjadi kalimat yang diwiridkan para sufi saat menyebut nama-nama tuhan. Engkau yang tak mengerti makna proklamasi yang belum sempat kudengungkan di antara sampan dan kayuh. Engkau yang memanggilku guru: tukang ketik miskin yang kekayaannya hanya buku-buku.

Engkau yang kini kuhadiahi kuliah-kuliah pendek soal mental. Kuliah ecek-ecek yang kini dibuat dengan tujuan save the nation: save the constitution. Visinya melaksanakan Pancasila; meraih kemerdekaan keenam. Misinya menerjemahkan mental konstitusional untuk melawan mental kolonial. Tugas pokoknya merealisasikan trias revolusi: revolusi mental; revolusi nalar; revolusi konstitusional.

Ketikan ini bermula dari tesis bahwa: semua bayi di republik ini lahir dahsyat dan cerdas. Warisan kolonialah yang menyebabkan mereka jadi pengkhianat konstitusi. Mengkhianati konstitusi akhirnya melupakan janji kemerdekaan, lupa kemanusiaan.

Dari pengkhianatan konstitusi, lahirlah masyarakat miskin, bodoh dan konflik serta kesenjangan yang luar biasa dahsyatnya. Dalam riset kami, sampai hari ini ditemukan ada 5 karakter konstitusional sebagai modal kemajuan Indonesia. Kita tahu bahwa untuk menikam mati karakter kolonial harus dihadapi dengan karakter konstitusional: berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, bermusyawarah atau berdemokrasi dan berkeadilan. Lima Karakter dari Pancasila.

Bagaimana penjelasan pendeknya? Pertama, berketuhanan. Karakter ini bermakna "hanya takut dan cinta kepada Tuhan." Sebab semua punah kecuali Dia. Maka, semua manusia sama dan sederajat: apapun warna kulit, kelamin, agama, suku, bahkan harta dan kecerdasannya. Yang membedakan hanya prestasi dan rekam jejaknya. Sepanjang ia bisa berprestasi dan tak bersalah maka ia bisa memimpin dan memajukan negara. Ia tak takut pada sesama karena sesama bertugas membuat prestasi kebaikan.

Kedua, berkemanusiaan. Karakter ini dirumuskan dengan kalimat "tugas manusia adalah menjadi manusia maka lihatlah sesama manusia." Ia tak bahagia di atas derita sesama dan tak sedih di atas bahagia sesama. Makin tinggi laku, kuasa, kapital serta spiritualnya dicirikan dengan praktik memanusiakan manusia karena kemampuannya menundukkan nafsu barbariknya.

Ketiga, bergotong-royong. Karakter ini dijiwai dengan semangat anti gotong-nyolong. Dus, sikapnya adalah "satu untuk semua dan semua untuk satu; holupis kuntul baris." Modelnya pemerataan dan kebersamaan. Rezimnya bersifat semesta dan holistik; bkn parsial dan sekadarnya.

Keempat, berdemokrasi. Karakter ini berdimensi terpimpin. Berlaku dalam barisan dan pasukan; bukan kerumunan dan kesaling-pengkhianatan. Menjadi panitia kesejahteraan dan keadilan dalam semua dimensi kenegaraan dan kewargaan. Dalam demokrasi ini, ekopolnya bersama dalam nurani keindonesiaan dan kenusantaraan.

Kelima, berkeadilan. Karakter ini menjadi inti dari semua cita-cita; alat sekaligus tujuan dalam kehidupan warga dan negara. Keadilan berdimensi kemakmuran, kenalaran, kemodernan, kedaulatan, kemandirian dan kemerdekaan abadi. Adil adalah jalan bahagia. Dan, bahagia karena berlaku adil. Inilah lima karakter yang berdimensi spiritualis, intelektualis, sosio-kapitalis dan menzaman.

Engkau kini mengerti bukan soal kegundahanku? Jika belum, aku memang lelaki eksperimenmu; yang diteguk tak setiap waktu; sebagai penyelia yang tak bermakna. Kini menunggu mati dengan sesal tiada guna. Di atas bening air sungai serayu yang dipenuhi keganjilan-keganjilan cita dan cinta: membangun semilyar universitas atlantik yang gigantik. Dan, engkau tetap tak merindukanku. Apalagi mengangeniku seperti kangen muhammad pada revolusinya.

***

0 comments:

Post a Comment