APBN UNTUK KEMAKMURAN - Yudhie Haryono


Semua ada resikonya. Semua ada harganya. Resiko demokrasi liberal adalah mahal. Harga demokrasi liberal adalah membayar apa yang dipinta pasar. Tetapi, puncak resiko dan harga yang terjadi adalah dicekik tengkulak dan rentenir internasional dan lokal.

Para tengkulak dan rentenir ini kebanyakan para pengemplang pajak. Sudah lama mereka mencuri. Via pemilu, hasil curian itu dicuci dan dilipatgandakan. Via presiden dan kabinetnya, hasil copetan yang disimpan di negeri tax heaven akan kembali via tax amnesty. Negara hanya alat bagi mereka meneguhkan perampokannya. Pemerintah yang berkuasa tetapi hanya begundalnya saja yang pesta pora.

Sesungguhnya, sejarah kekayaan konglomerasi dan oligarki di dunia adalah cerita tentang penumpukan harta dan uang gelap hasil perampokan via penjajahan yang menjarah emas, perak dan berlian negara jajahan. Merkantilisme tradisional seperti VOC menjadikan Belanda sebagai negara kecil kaya raya di Eropa. Elite Belanda hidup mewah di tengah penderitaan rakyat tanah jajahannya.

Begitu juga dengan penjajah Inggris, Prancis, Rusia, Spanyol dan Portugis semuanya hidup dalam kemewahan di atas penderitaan tanah dan rakyat jajahan. Harta dan uang mereka beranak-pinak sampai saat ini. Lalu, untuk menjaga hegemoni mereka, harta itu dijadikan uang pinjaman korporasi melalui jalur uang global via IMF, WB dll.

Negara miskin pinjam uang yang didapat dari merampas sumber daya mereka yang sudah berubah bentuk menjadi uang di pasar finansial dan dioperasionalkan oleh para bankir dan pialang uang global.

Merkantilisme ini tetap berjalan mencari mangsa baru. Lahirlah Jepang, Korea Selatan dan sekarang China yang tidak masuk dalam orbit Merkantilisme Barat di bawah pengaruh kaum Yahudi.

Di kita, para oligark penjajah berkolaborasi dengan proxy dan dikopi metodanya. Lahirlah road map bisnis konglomerasi hitam menjadi: bisnis perbankan, lalu ke bisnis tambang/sawit (ekstraktif), lanjut bisnis aset tanah/property (apartemen, hotel) masuk lagi ke rumah sakit (jualan tempat inap harian, jasa kesehatan dan alat kesehatan), lanjut ke maskapai penerbangan dan laut (tetapi intinya jualan kursi dan monopoli).

Tetapi, mereka juga mengoperasionalkan semua jenis bisnis; yang terang, setengah terang, gelap bahkan yang gelap gulita. Mereka keruk tanpa bicara moral uang itu halal atau haram. Yang ada adalah jumlah yang terus bertambah. Karena merkantilisme hanya berbicara untung dan untung. Mereka produksi via pengaruh, bedil dan kekuasaan. Apapun jalan harus ditempuh. Halal. Tak ada yang haram.

Semua itu karena para pemilik merkantilisme tidak ingin dapat saingan baru di tingkat lokal dan internasional yang mengganggu pengaruh dan posisi mereka selama ini.

Akibat lanjutannya banyak. Saat kemiskinan ide dan harta negara kita maka inilah yang terjadi. Pertama, pemerintah setuju menghapus subsidi. Padahal subsidi itu perintah konstitusi. Kedua, pemerintah pasti naikkan pajak. Padahal pendapatan kaum miskin belum meningkat. Ketiga, terjadi pelemahan penegakkan hukum. Padahal negara hukum itu cita-cita konstitusional kita. Keempat, hutang pemerintah membuncah. Padahal, kedaulatan negara tergantung dari besar kecilnya hutang dalam dan luar negeri. Kelima, terjadi defisit APBN.

Lucunya, APBN kita defisit saat Indonesia eksportir babu nomor 1 di dunia, eksportir sawit nomor 1 di dunia, eksportir batubara nomor 1 di dunia, produsen nikel nomor 1 di dunia, produsen timah nomor 2 di dunia, eksportir gas nomor 3 di dunia, eksportir tembaga nomor 4 di dunia, eksportir emas nomor 5 di dunia.

Hal ini bertahan terus siapapun pemenang pemilunya. Mengapa? Karena yang ada hanya pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama: limbo.

Bukankah kini kita tak lagi menikmati kuliah yang terjangkau, obat yang terbeli, listrik dan air yang nyala stabil? Bukankah kita tak mendapati para pemilik rekening di Panama Papers disuruh bayar pajak? Bukankah kita sulit melihat elite dihukum berat saat rakyat dihukum semau-maunya? Bukankah lapangan kerja makin tiada?

Terjadilah tradisi defisit APBN. Dengan APBN yang defist ini maka terlihat bahwa pemerintah tidak punya skala prioritas, tidak maksimal mencari pendapatan, tidak leluasa membuat program dan tidak mudah mengangkat PNS plus tidak bisa menghabiskan kemiskinan yang makin meluas.

Apa jalan keluarnya? Mestinya, pemerintah melakukan lima hal: 1)Nasionalisasi aset strategis; 2)Rekapitalisasi BUMN; 3)Transformasi shadow economics menjadi economics state via undang-undang; 4)Laksanakan pajak super progresif; 5)Masifikasi reindustrialisasi.

Setidaknya, publik mengenal pemain besar yang berkuasa di shadow economic dan menjadi pencekik presiden. Maka, jika hanya menggunakan pendekatan neoliberal yaitu utang, utang dan utang maka pemerintah sedang menggali kubur untuk rakyatnya. Sebab yang dikerjakan hanya "besar pasak daripada tiang."

Sebaliknya, jika hanya mengandalkan tax amnesty, sesungguhnya kita sedang gantung diri. Sebab 6.519 konglomerat yg memarkir 13.300 Triliyun sesungguhnya merupakan hasil lari dari pajak, korupsi, narkoba, illegal logging, illegal fishing, human trafficking, prostitusi yang kemarin juga mensponsori pemilu kita. Bagaimana mereka mau bayar mudah dan murah? Tidak mungin.

Yang mungkin, kita perlu revolusi ekonomi: kini dan sekarang. Yang benar dan konstitusional: tangkap mereka, adili dan sita kekayaannya buat negara. Apalagi pemerintah (via BIN dan KPK) punya data yang dimiliki lengkap, mulai dari nama, paspor, nama perusahaan hingga nomor rekening dari para konglomerat hitam tersebut.

Kita harus berani. Jika takut maka negara ini seperti pemerintah yang tidak memerintah dan penguasa yang tidak menguasai. Negara tanpa kepala negara. Merdeka tanpa kuasa. Memenangi pemilu untuk tunduk pada rentenir dan tengkulak saja. Dan, dapat dipastikan APBN-nya bukan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

***

0 comments:

Post a Comment