Cerpen Minggu "CINTA FIKSI BIN FIKTIF" - Yudhie Haryono


Tentu saja ini bukan cerita dan perdebatan kitab suci. Sebab, semua dimulai dari hujan dan banjir; gerimis dan tangis. Ia yang menunggu kesejarahan akan bangkitnya kejayaan yang tak menua di bawah pohon belimbing.

Sungguh. Berteman karena uang, saat uang habis persahabatan akan dilupa. Berteman karena keuntungan, setelah kerugian akan bubar. Berteman karena kekuatan, setelah kalah maka hubungan akan runtuh. Berteman karena kekuasaan, setelah kekuasaan hilang maka akan ditinggalkan. Berteman karena perangai perasaan, jika perasaan putus akan terluka. Hanya berteman dengan hati tulus, barulah akan mulus.

Mirip kisah di bawah ini. Kisah dimula dari bertemu di stasiun. Ditulis dalam buku kelas kedokteran. Bagai setetes embun di daun; di antara bintang dan gelap malam. Nasib lamban bergulir di makian dan cacian senior. Menjadi mahasiswa kedokteran itu seperti menjadi jarum suntik. Ketika jatuh ke tanah, ia tak terserap musnah.

Tuhan. Ini kisah mirip kisah aksara, anak hebat yang dititipkan saat kami ngopi denganMu. Saat ia bersama sekitarnya yang rakus tak bernas. Sebab, kakeknya kemarin melarang mamahnya menemui anaknya dan kini melarang anaknya menemui mamahnya. Jahat sejahat jahatnya manusia. Mirip indonesia, di mana negara makin lucu dengan sinetron bertema rampokan dan hantu.

Mencintai senior yang bisu itu seperti rel kreta. Bersama tapi tak jumpa. Begitupun hatinya, diayun bimbang jawab ujian proksi dan karikatural. Rasanya mirip rempeyek. Terhempas dan hampa. Sangat sulit dihitung. Jauh tak terkira. Berdebum tak mati. Tulang patah dan kaki bengkak-bengkak saja.

Mencintai yunior itu seperti tari yang tersaput mega. Enggan hidup. Apalagi bersinar. Hambar dan tidak tak tergambar. Rasanya bagai menusuk angin ke raga. Membuat jiwa gemetar; niat jadi gentar; iman jadi kabur.

Kisah ini mirip hipotesa baru. Jika ada debat antara SMI VS RR soal utang itu adalah debat antara fiksi versus fakta. Berat. Sulit. Sinopsisnya pasti mahal. Sebab ini adalah rentenir melawan nalar.

Kisah ini juga mirip cerita Mahesa Jenar. Orang yang tidak pernah lari dari permasalahan walau menyangkut bahaya nyawanya. Semua masalah yang dihadapinya tidak ditepiskan, tapi dihadapi untuk kedamaian umat manusia.

Mengapa? Sebab Mahesa Jenar itu lembut perasaannya, suka menolong orang, suka mengalah untuk kebahagiaan orang lain, baik hati, berkorban untuk negaranya dan tidak mementingkan diri sendiri.

Singkatnya, cinta gila itu membuat keterpurukan. Di sini. Di sana. Di mana saja dipeluk bimbang sikap dan jawab. Ya. Sikap mereka yang tuli tapi butuh, buta tapi minta, bisu tapi ngasu. Semua membeku dan sara tak terukur dan tak terkira dalam dan panjangnya. Amitabha.

Kasih. Adalah kau tuangkan cinta? Adakah kau dustai diri. Adakah yang kau tuang ke dalam tungku yang tengah panas menyala. Pasti tak ada. Sebab hidupmu memang tanpa niatan yang bisa dibaca. Kasih. Adalah kau padamkan bara; adakah hidup tanpa nyawa; adakah cinta tanpa setia. Seperti bilik-bilik pengkhianatan istana pada kita semua. Tatkala hangat mulai membuai jiwa; meluruhkan air mata.

Kasih. Jika Tuhan memberitahu bahwa umurmu tinggal sehari, apa yang akan kamu lakukan? Seperti para pencari kursikah? Atau seperti penemu uang saku? Atau seperti mereka yang saat kere memilih kiri tetapi begitu berkuasa menjadi babi?

Kini. Dan, sejak kemarin. Mendengar kisah-kisah. Aku terhempas bimbang sikapmu; aku bergairah tetapi mati; aku fiksi bin fiktif; aku khayal yang nyata. Kesasar. Terpuruk di sini. Di antara ikan dan kayu bakar. Mandeg. Stagnan. Limbo. Dipelukan bimbang jawabmu. Digantung rindumu yang palsu. Ilutif. Membentuk patung-patung agama. Membeku dan sara; mencerna gagal spiritual tak terkira. Tragis setragis tragisnya.

***

0 comments:

Post a Comment