Cerbung #20, KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN - Yudhie Haryono


Kudengar kalian berproklamasi, "kami, asing-aseng dengan ini menyatakan, akan membangun reklamasi di pantai Jakarta.

Hal-hal mengenai ijin dan lain lain, akan diselesaikan dalam tempo secepat-cepatnya, walau tidak seksama.

Hal-hal mengenai lingkungan hidup, nasib nelayan, dan siapa yang diuntungkan atau dirugikan, biarlah menjadi wacana kaum cerdik pandai saja. Jakarta, 29 Juni 2016.

Kudengar dari ujung bandara Suha saat kudapati kabarmu jatuh. Saraf terjepit di antara tulang punggungmu. Ini jenis siksa kambuhan yang ke sekian kali. Dari pojok redup ini kubayangkan kulihat mendung menghalangi pancaran wajahmu. Senyummu tinggal sisa-sisa.

Di rumah bernama Kirena, tak terbiasa kudapati engkau terdiam mendura. Tangis hasil penjumlahan maha sengsara. Apakah gerangan bergemuruh di ruang hatimu atas semua batu uji Tuhan yang tak berhenti. Sekilas galau mata ingin berbagi cerita dan tangis tak sudah-sudah.

Tentu. Kuingin datang sebagai sahabat bagi jiwamu yang sedang terus lara dan luka. Memelukmu penuh seluruh, saat batinmu merintih perih. Lalu kubisikkan kata, "usah kau lara sendiri. Masih ada asa tersisa aku dan kasihku buatmu."

Fatwaku kemudian, mari berbagi. Sebab tugas manusia adalah berbagi suka dan duka. Letakkanlah tanganmu di atas bahuku. Sampaikan sakitmu di atas tanganku. Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu. Agar dukamu tak hanya milikmu. Tetapi milik kita.

Seperti biasa. Kita harus yakin bahwa di depan sana ada cahya kecil memandu. Menitipkan keyakinan agar tak hilang arah kita berjalan menghadapinya. Tetapi, tetap saja sesekali sempat kau boleh mengeluh bahkan teriak: lepaskan segala.

Saat satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh. Pergi seakan kita bukan siapa-siapa. Sendiri sepi. Tak tahan. Menggugat dan bertanya: Tuhan apa salahku; apa dasaku.

Kini. Seperti sebelumnya. Kudatang sebagai sahabat bagi jiwamu. Saat batinmu merintih. Saat sakitmu di puncak. Usah kau lara sendiri. Usah kau gantung diri. Masih ada asa tersisa. Ada kasih luarbiyasa. Letakkanlah tanganmu di atas bahuku. Segera. Agar senyummu kembali ceria. Di atas gubuk bernama Batrisyia.

Dari pojok bandara. Saat sujud ashar selesai dan doa dengan tangis. Kuyakinkan engkau agar meletakkan tanganmu di atas bahuku. Nasibmu di atas takdirku. Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu. Agar kita menjadi manusia. Kasih. Usah kau simpan dukamu dan laramu sendiri. Usah kau telan sakitmu itu sendiri.

Dari bandara, mengenangmu seperti mengingat Romo Mangunwijaya yang legendaris. Saat ia bicara nasionalisme kita hari ini. Menurut Romo Mangun, nation kita kini berdiri di atas “nurani” yang mati. Kehendak untuk menghapuskan eksploitasi manusia oleh sesamanya, keinginan untuk melawan imperialisme, atau kemauan untuk membebaskan sesama manusia dari penderitaan jadi sesuatu yang hilang dari imajinasi kita tentang “Indonesia” hari ini.

Romo Mangun kemudian bilang, "saat negara absen dan lari dari derita rakyat, saat itulah kita rasakan lubang dalam yang kemudian diisi dengan tuntutan agar rakyat bekerja keras dan rela berkorban demi negara."

Tetapi kasih, ya. Pada akhirnya, kehidupan akan menertawakan kita saat kita sedih. Kehidupan akan tersenyum kepada kita saat kita bahagia. Ujungnya, kehidupan akan menghormati kita saat kita membuat orang lain bahagia. Sudikah kita membahagiakan saudara dan sekeliling kita? Itulah kwalitas kita! Bingung dan sedih.

***

0 comments:

Post a Comment