Cerpen Jumat "PUTRI YANG TAK CINTA LAGI DAN PEREMPUAN YANG MENIKAH TANPA CINTA" - Yudhie Haryono


Ini bukan kisah kalian. Tetapi jika ada kemiripan nama dan isi, mohon dimaafkan. Ini bukan cerita kalian. Tetapi jika ada yang membuat tersinggung, mohon dilapangkan. Ini bukan hikayat qais dan laila, sebab ini hanya cerpen saja.

Cerpen ini hadir saat republik tetangga mengalami keterhebatan fatwa pemilik modal. Fatwa yang tak terbaca di kitab suci tetapi terjadi di kehidupan nyata dalam 15 tahun terakhir kita dalam berbangsa.

Fatwa suci itu mengatakan, "Jika para taipan memanggil, tukang kayu bisa jadi ratu; jendral mau jadi juru ketik; ulama bangga jadi juru stempel; guru besar rela jadi jubir; cendekiawan bersuka-ria jadi badut; anggota parlemen berbaris jadi velacur; aktifis hobi jadi sipilis."

Cerpen ini juga terselip di antara hipotesa yahud yang berbunyi, "kini yang lama tak kunjung mati. Yang baru tak kunjung datang. Penguasa menua. Penggantinya tak mengerti, tak benderang, tak menjanjikan."

Yang jelas, cerpen ini diketik saat limbo. Sehingga berilusi negatif: tanpa ide, minus nalar, alpa gagasan itulah elite kita kini. Cuma beda pendapatan; bukan beda pendapat. Inilah republik plonga-plongo yang bahagia memproduksi budak dan kejahiliyahan.

Padahal, jahiliyah itu tidak berumah. Ia suka singgah di manapun sekehendaknya. Sesekali mampir di istana. Terkadang hidup di kampus dan rumah ibadah. Terakhirkali berwajah culun dan suka blusukan. Akhirnya, pilpres kita selalu seperti omong kosong versus otak kosong. Yang menang selalu tong kosong.

Cerpen ini dimulai dengan keimanan pada kaidah tak ada hidup tanpa ada masalah. Tak ada berkawan tanpa berbuat salah. Karena sewajarnya bagi manusia ada sikap penuh khilaf. Untuk itu Allah mengajarkan kita menjadi pribadi pemaaf.

So, mari memaafkan. Ella namanya. Bagi suaminya, ia peri mulia yang tak ada duanya di dunia. Dikejar sejak semester pertama sampai sarjana. Lalu menikah dan beranak-pinak. Satu lelaki yang rupawan. Tetapi, cobaan memang tak melihat profesi, tanpa tanda dan sering tiba-tiba. Saat melihat putri lain, ayah dari lelaki yang rupawan itu tersyariahkan. Sebab menambah itu sunnah.

Kini, mereka tidur seranjang tetapi hati tak girang. Menangispun tak sedu. Sebab di baliknya ada peluru. Suaminya memang serdadu. Cerita masa lalu soal peradaban agung tinggal kenangan. Dalam hati keduanya tinggal pertanyaan besar, "apa itu setia?"

Elli namanya. Di ujung senja usia, dilempar ke jurang nista. Saat arjuna terakhir hadir, ia tak sudi. Sebab orang itu bukan tipenya. Tapi apa mau dikata? Tokh hidup tinggal sebentar. Pestapun dilakukan. Anak pinak dihadirkan. Seorang lelaki tampan menyapa. Tetapi, ini soal hati. Tak kagum. Tak seperti yang diharapkan. Hambar. Terkadang marah. Cuek. Limbo. Yang ada, seperti tiada. Yang tiada, diharap ada.

Ia ingat. Sejarah ranjang terkadang lebih lalim dari sejarah perang salib; lebih kurang ajar dari cerita neoliberal; lebih sadis dari prestasi sekolah. Tapi mau bagaimana lagi? Buntu dan kuldesak tak menentu. Tak ditemukan jalan kembali.

Ella dan elli. Kisah dua samudra. Cerpen dua bukan saudara. Hadir dalam realitas kita. Sering tak tahu harus bagaimana. Sebab, manusia adalah waktu yang menjumlah luka. Berputar dalam labirin tetapi sering menikmati sambil meratap perih.

Ella dan elli menjerit gigil. Bantu aku, lari dari bayangmu. Hasrat melupakanmu. Usah lagi, senyum sapamu mengganggu. Engkau bukan untukku lagi. Ini seperti petikan lagu. Entah lagu siapa. Sebab tidak semua pertanyaan mengharuskan jawaban.

Singkat. Ujung cerpen ini adalah begini: Tidak semua yang dicintai sedia mencintai, dan tidak semua yang mencintai sedia dicintai. Tidak semua sedia saling mencintai, kata Albert Einstein.

***

0 comments:

Post a Comment