MENEMBUS TEMBOK - Yudhie Haryono


Pendidikan kita mandek bahkan mundur. Demikian simpulan diskusi di acara FDK yang diselenggarakan oleh YSNB, Aliansi Kebangsaan dan FKPPI, Rabu kemarin (17/5/2020) di Apartemen Sultan. Karena itu, ia perlu direvitalisasi. Tetapi tak mudah. Mengapa? Ia menghadapi tiga barikade sekaligus.

Pertama, akibat amandemen, konstitusi kita tidak memberi ruang bagi cendekiawan dan ilmuwan untuk ikut menjadi anggota MPR guna merumuskan kebijakan publik (UU). Konstitusi kita kini hanya corpus politik minus budaya, hukum dan pendidikan. Sistem dua kamar (bikameral) rasa satu kamar sebagai pengisi DPR/MPR dan biaya mahal dalam politik (pileg) membuat utusan golongan/profesi dan utusan daerah/kebijaksanaan hilang.

Tentu mengharapkan legislasi yang berdimensi kedalaman, kebijaksanaan, kebudayaan dan peradaban menjadi sangat sulit. Anggota-anggota DPR/MPR kita kini sangat politiking dan berjangka lima tahunan.

Kedua, porsi cendekiawan dan ilmuwan sangat sedikit di parlemen. Dengan model voting dalam memutus kebijakan publik, mustahil rasanya para anggota parlemen berbasis pendidik memenangkan voting. Sehebat dan sejenius apapun mereka akan kalah dalam voting karena basisnya jumlah suara dan oligarki ketum parpol.

Ketiga, keterlibatan warganegara dan asosiasi-asosiasi sipil makin kecil. Kini tak kita jumpai lagi filantropis yang mau berbaris bersama kaum Pancasilais guna mendesak parlemen agar memihak warganegara saat merumuskan undang-undang. Dalam hal ini yang mau waras tak punya daya; yang punya daya tak punya dana; yang punya dana tak punya cita-cita yang sama dengan yang waras.

Jadi bagaimana strategi menembus tembok penghalang itu?

Pertama, mari kita perbaiki arsitektur ekopolsusbudhankam di lima sisi:

  1. Tata nilai
  2. Tata kelola
  3. Tata agensi
  4. Tata budaya
  5. Tata tekhnologi secara serentak yang berdimensi maritim (laut), pertanian (darat) dan dirgantara (udara).

Kedua, mari kembalikan dimensi kebudayaan dan peradaban sebagai ontologi undang-undang kita. Karenanya nanti menjadi sisbudiknas (sistem kebudayaan dan pendidikan nasional), bukan hanya sisdiknas (sistem pendidikan nasional). Jika kebudayaan dan peradaban jadi ontologi maka ini bicara antar generasi; bicara masa depan bukan membincang pesta lima tahunan.

Ketiga, menggalang partisipasi publik seluas mungkin (lintas partai, lintas SARA, lintas generasi) untuk mengembalikan pendidikan pada tujuan semula: mencerdaskan kehidupan bangsa agar mulia, bermartabat dan menertibkan dunia.

Tentu tidak mudah. Tapi kami terus berupaya. Diskusi sangat menarik karena diikuti para peminat kajian pendidikan, kebudayaan dan peradaban yang kompeten di antaranya Prof. Hafid Abas, Prof. Laode Kamaluddin, Ki Darmaningtyas, Bapak Pontjo Sutowo, Prof. Muchlas Samani, Yudhie Haryono, Ph.D, Ki Nurrachman, Ki Ahmad Rizali, Ki Wigrantoro, Ki Wisnubroto, Kyai Irawan, Dr. Herawati, Bung Ferdiansah (DPR) serta dipandu moderator Dr. Ki Bambang Pharma Setiawan.

***

0 comments:

Post a Comment