Cerbung #8 "KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN" - Yudhie Haryono


Akhirnya ia datang. Atau kita yang menyongsong. Pada ujung yang berulang: lebaran. Setelah diperjalankan. Pada haus dan dahaga. Ditenggelamkan amok iklan via media.

Padahal, pulang ke rumahmu adalah pulang pada kesunyian. Pulang ke hatimu adalah pulang pada keentahan. Pulang ke jiwamu adalah pulang pada kebutatulian.

Kakikupun pilu. Nalarku kerontang. Matakupun sendu. Mulutkupun sedan. Hatikupun remuk. Jiwakupun redam. Hanya tinggal ampas dan debu. Tanpa deru. Tanpa ratu. Begitu teganya engkau padaku.

Kau yang sudah. Kau yang tak lagi pernah. Menggigil terkutuk rindu. Sesak napas terjerat cinta. Kau yang mencari. Tuhan yang entah di mana. Sambil mencampakkan kebenaran di depan mata. Kau membuncah suci. Kau mengusir lara dalam sepi direntang jarak dan waktu. Aku terguguk termangu menyimak keabadian di profanmu.

Kuingat. Kini sepertinya semua jadi sampah. Di negara ini, ya di sini. Di negara yang katanya Presidennya Jokowi, "keadilan lebih mudah didapatkan di luar pengadilan." Penjaga dan pelaksana hukum jadi jagal.

Lihatlah kasus-kasus di sekitar penegakkannya. Semua menganjing saja. Menggonggong yang berhenti saat sarapat duit dan uang.

Pemerintahnya bangga jadi sampah. Di negara sampah, tugas presiden dan penegak hukum seharusnya membersihkan sampah. Tapi yang terjadi sebaliknya: menjadi sampah via kebijakan-kebijakan prosedural berbelit-belit.

Produktifitas palsu di semua lini. Yang dikerjakan hanya mengatasi dengan pulsa. Di negeri sampah, hanya lalat dan ulat yang dapat berkat. Yang lain dapat laknat.

Aku manusia laknat. Yang napas terakhirnya tak datang-datang. Kini. Di malam penghabisan. Aku berzikir tertua. Lafal-lafal jelang kesunyian. Dalam gelegar doa ingat sunyi kematian. Apakah yang hendak kukatakan tentang ide-ide dalam jiwaku?

Setrilyun ide-ide yang menjengkelkan bagimu. Saat aku mencari perkawanan setelah makin bosan terhadap perilaku manusia, terhadap ladang-ladang suburnya yang justru menyakitkan hati dan hutan-hutannya yang terlalu merimba. Penuh culas dan citra pupur.

Aku menarik diri ke dalam kesunyian jiwaku saat aku tidak menemukan tempat lain guna membaringkan kepala letihku. Hal ini karena engkau yang kucintai memilih buta tuli dan bisu.

Engkau tidak menjumpai sesuatu kecuali seorang manusia yang bersujud mengucapkan doanya minta mati setiap hari sepanjang waktu.

Berharap tak ada lagi hari dan kisah dunia yang gelisah di sepanjang fajar gemilang yang tak dihirau datang; membaui bunga segala bunga yang pesonanya cukup di taruh dalam gunung jiwa; perkakas para dewa. Pengumpul suka penjumput duka; deposito minus gula dan kopi yang beku di kulkas-kulkas terakhir sebelum bayar listrik pulsa.

Aku sudah mati sebelum ajal tiba. Aku sudah fana sebelum dicabut nyawa. Aku jadi mayit saat nyawaku memperjalankan tubuhku. Jiwa kosong melompong yang bengong. Kuntilanak. Pocong. Hantu blawu.

Itulah kini aku. Tak bernalar. Tak berilmu. Tak pernah mandi. Tapi ditonton, dibedaki sambil dimaki-maki. Selamat malam ramadan para pemburu "jeneng dan jenang." Semoga kalian dapat restu Tuhan hantu dan hutan. Dapat lailatul qadar.

Di samping itu. Aku adalah "tukang ketik." Dan, menjadi tukang ketik di kota Jakarta yang metropolis bagaikan kucing yang lahir di gurun pasir. Tak ada yang memerlukan jasaku. Tak ada yang peduli pada prestasi ketikanku.

Bahkan, semua penduduknya mengajakku menipu. Sebab, tanpa saling menipu, mereka tak akan mampu bertahan di makan waktu. Kucing di gurun tandus kok diajak menipu? Bagaimana akan paham dan tahu?

Pada bulan Ramadan 2019. Saat warga diadu-domba. Saat ummat tak sudi revolusi. Aku kangen pada dentuman perubahan. Manisku, jika kamu di sisiku, aku akan mengajakmu bergurau di pinggir kolam ikan. Kuceritakan sejarah nusantara, gempita arus balik dan bumi manusia. Lalu kuajak kamu menyidak perusahaan-perusahaan yang kubangun buat anak cucu. Sorenya, aku kan memelukmu sepanjang waktu di pantai Ancol. Menikmati tenggelamnya mentari.

Aku merindukanmu kini seperti rindu malam pada pagi. Aku memimpikanmu kini seperti hangat bumi pada sinar mentari. Aku mengharapkanmu kini seperti kenyot bayi pada susu ibu. Aku membayangkanmu kini seperti  Dedes pada Arok. Aku memujamu kini seperti Friedrich Engels pada Karl Marx: seperti Kusno pada gotong-royong.

Kusno yang berucap, "gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua."

Tetapi, di republik ini, semua merasa benar. Tidak ada yang salah. Menerima dengan senyum. Sudah takdirNya, katamu. Kita hanya menjalani. Semua dari tuhan, hantu dan hutan. Kemiskinan, kebodohan dan ketimpangan adalah situasi yang wajar dan tak perlu dipertanyakan.

Tuan-tuan yth. Jika kalian membangun pesantren dengan cara mencaci dan memuja orang, santrimu akan diajari kurikulum apa? Jika kalian khutbah jumat dengan memuja orang, bukan menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, ummatmu diajak ngapain?

Jika kalian ribut dengan pendapatan dan bukan dialog beda pendapat, akalnya layak disebut nalar apa? Jika kalian sibuk logistik dan anti logika, agama apa yang dianut sebenarnya? Kok makin aneh setelah kenal demokrasi pasar liberal, kalian ini.

Jangan-jangan kalian tak paham bahwa inilah buah mental kolonial. Produksi negara kolonial. Warisan budaya postkolonial. Padahal, teman-temanku yth. Karena dijajah, kita miskin. Karena miskin, kita bodoh. Karena bodoh, kita menganggur. Karena menganggur, kita berdoa. Karena berdoa, penjajah makin kuat. Karena penjajah makin kuat, kita ikhlas. Karena ikhlas, kita berharap. Karena berharap, kita dungu. Karena dungu, penjajah betah.

Subhanallah. Tuhan mana yang kita dustakan? Sebab tangan kalian selalu di bawah. Mengemis melata di tengah lumbung padi dan emas. Akhirnya kita buta, tuli dan bisu. Bangga berdoa dan menyerah jadi pendosa. Menjadi bangsa dungu di antara bangsa-bangsa.

Izinkan kini, aku nukilkan fatwa Nyai Ontosoroh pada anaknya dalam novel yang ditulis Pramoedya: "Melawan, nak, nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Sebab, alam raya tidak pernah berpihak pada yang kalah. Sebab, kalah itu menderita.

Dan, penderitaan itu seperti bensin pada kayu bakar: memperbesar api. Seperti silikon pada payudara: memadatkan tetek. Saja.

Teruslah kita menulis dan memupuk perlawanan. Teruslah kita menapak kegilaan zaman ini dalam lembar-lembar kertas revolusi. Secerdasnya. Setepatnya.

So, ayok terus melawan! Sampai titik darah penghabisan.

***

0 comments:

Post a Comment