Cerbung #7 "KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN" - Yudhie Haryono


KINI. Aku tidak mencari apa-apa lagi. Hanya menunggu senyummu sebelum salat duhaku dan sebelum matiku. Dalam tiap tempat dan waktu. Menciumimu dalam nadi dan detik-detikku.

Kini. Di sini. Rasanya aku perlu mengutip Victor Frankl yang menulis bahwa, "bukan hidup yang memberikan jawaban kepada kita, tapi kitalah yang harus memberikan jawaban kepada kehidupan."

Kubagi juga yang lain. Kata Sun Tzu: "Untuk menaklukkan sebuah bangsa tak perlu kau kirim ratusan ribu pasukan, cukup kau hapus kebesaran leluhur bangsa itu dari ingatan generasi mudanya."

Di republik ini, ingatan kaum tua dan kaum muda sama saja: terhapus konstitusinya dan diganti budaya gotong nyolong.

Maka, sebelum mati, karena ditikam rindu yang luarbiyasa, izinkan kukirim surat cinta buatmu.

"Tidak penting bagiku apa agamamu. Bahkan aku tak peduli, kamu beragama atau tidak. Yang betul-betul penting bagiku adalah perilakumu di depan kawan-kawanmu, keluarga, lingkungan kerja, negara juga dunia.

Karenanya, kasih, "jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu, karena akan menjadi nasibmu."

Mengingatmu adalah mendengar dentuman, pikiran raksasa, khayalan kosmik dan kerja 1000 abad. Walau kini yang sedang berlangsung adalah banjir dealer, kemarau leader. Surplus perampok, minus pahlawan.

Padahal, tak sempurna menjadi manusia Indonesia sebelum membaca karyamu; mengunjungi perpusmu; berdebat denganmu; menikmati kopi seduhanmu; mengunjungi padepokanmu di Baturaden.

Kini perlu kujelaskan. Tanah air kita (mestinya) aman dan makmur. Tanah air kita (mestinya) pulau kelapanya amat subur. Tanah air kita (mestinya) pulau melatinya pujaan bangsa-bangsa di dunia.

Dan, sejak dulu kala dirampok dan diperkosa. Kini, tanah air kita jadi republik darurat nasional. Syorga bagi oligark. Neraka bagi warga kerak bin kismin.

Kutulis khusus buatmu yang berulang tahun hari ini. Hadiah dariku adalah "sejarah koreksi" yang mungkin membuatmu susah tidur. Begini asal mulanya.

JIKA kaum muslim membangun mitos bahwa Nabi Muhammad mendapat wahyu awal di gua Hira, sesungguhnya itu kopian dari metoda turunnya wahyu di Pulau Djawa (panjang: cerdas; lurus).

Replikasi dan sejarah wahyu jawa sudah dibentuk alam selama sepuluh ribu tahun. Keajaiban itu muncul dalam karya nan indah yang menawarkan nuansa lain.

Sebuah tempat berpetualang di perut bumi, namun santai dan menyenangkan yang terletak 21 kilometer ke arah selatan Gombong, atau 42 kilometer arah barat Kebumen.

Wahyu itu turun di "Gua Jatijajar" yang beneran gua. Beda dengan gua hira yang "dipaksa jadi gua."

Gua Jatijajar berada di kaki pegunungan kapur. Tetirah dan objek sakral ini sungguh sangat menarik. Pegunungan kapur ini memanjang dari utara dan ujungnya di selatan menjorok ke laut berupa sebuah tanjung. Sebagaimana umumnya objek spiritual lain di Indonesia, yang hampir selalu menyimpan mitos, legenda dan pelajaran, Gua Jatijajarpun tak terkecuali.

Gua Jatjajar inilah tempat bersemedi Raden Kamandaka, yang kemudian mendapat wahyu. Isinya tentang tugas pembebasan manusia dari belenggu empat ta (tahta, harta, wanita/lawan jenis dan tapa/status quo).

Inilah wahyu yang menjadi "leitstar statis" bagi berkembangnya agama (ujaran-ajaran) Jawa-Nusantara: theoantroekocentris. Agama yang relasi publiknya setara antara Tuhan, manusia dan alamraya. Resiprokal kritis dan menuju peradaban (beradab) dalam kosmologi hibridasi.

Inilah cikal bakal negari Ke-bumi-an yang nanti menjadi The Spirit Of Indonesia. Menundukan bumi dan membebaskan penduduknya dari belenggu penjajah langit dan koloni bumi.

Coba cek aksara dan angka Nusantara yang penuh filsafat dan tanda plus simbolik. Sesuatu yang tak ada di belahan dunia lain.

Sungguh, jika baca dengan teliti, dunia di luar nusantara hanya mereplikasi sebagian dari gagasan Pancasila. Bukan sebaliknya. Makanya ada "arus balik." Eden in the east. Atalata. Mudik untuk bertemu "yang benar dan pener." They part of us not we part of them.

Ini ide raksasa, peradaban raksasa sehingga butuh pemikir dan pelaksana raksasa. Dan, yang jelas bukan Joko-Jeka.

Sejarah dari Raden Kamandaka ini kemudian dikenal dengan legenda Lutung Kasarung. Visualisasi dari legenda tersebut dapat kita lihat dalam diorama yang ada di dalam goa itu. Masuk ke dalam gua ini, bagaimanapun ada rasa degdegan.

Betapa tidak! Karena merasa seperti masuk ke dalam mulut binatang purba Dinosaurus. Tambah ngeri lagi jika membayangkan gelapnya suasana di dalam perut Dinosaurus tersebut. Namun rasa cemas itu segera sirna, sebab ruangan diterangi oleh lampu listrik dari ujung ke ujung. Meski mulut gua cukup lebar, namun ruang perut Dinosaurus lebih lebar lagi. Pada langit-langit terdapat sebuah lubang sebagai ventilasi.

Di tengah-tengah terdapat kursi melingkar tempat duduk pengunjung sambil menikmati indahnya ornamen stalagtit dan stalagnit serta diorama legendanya.

Dari sini teks Alquran soal sorga yang sungainya mengalir di bawah; mata air yang memancar; bidadari-bidadari yang jelita, berasal. Gambaran syorga, persis lahir dari tanah jawa dan paparan sunda.

Maka, dalam goa itu terdapat sumber mata air yang disebut Sendang. Jumlah sendang tersebut ada 4 buah, yaitu Sendang Mawar, Kantil, Jombor dan Puserbumi.

Sendang Mawar mempunyai kekuatan gaib yang bisa menghapus nafsu bejat dan membuat seseorang tetap idealis. Sendang Kantil menghapus sifat serakah dan membuat seseorang berkarakter. Sendang Jombor menghapus ketakutan/inlander dan membuat seseorang kuat. Sendang Puserbumi menghapus kesombongan dan membuat seseorang rendah hati, bersahabat dan dahsyat.

Keempat mata air ini metoda menghancurkan empat ta. Metoda kapitalisme dan imperalisme.

Karenanya, setiap peziarah selalu menyempatkan diri untuk membasuh muka dengan air seluruh sendang tersebut agar wahyu Raden Kamandaka menitis. Agar ia jadi nabi-nabi agung bagi segala (manusia paripurna, insan Pancasila).

Panjang goa adalah 250 meter, dalam 40 meter. Di area Goa Jatijajar ini juga terdapat beberapa goa lainnya, seperti Goa Intan dan Goa Dempok serta tersedia taman dan Pulau Kera.

Berbeda dengan gua Hira yang kering kerontang, mata air dari dalam Goa Jatijajar tiada pernah berhenti walau musim kemarau sekalipun.

Karena itu kekasih, jika baca subtansi Alquran maka kita dapat simpulkan bahwa ia tak mungkin turun di Makkah dan Madinah. Daerah itu terlalu muda dan kering untuk bisa melukiskan peradaban.

Diskursus peradaban (setara, spiritualis, berkarakter, syorga dan humanisasi) tak mungkin lahir dari ruang hampa. Dan arab tak cukup kuat dalam merepresentasikan itu semua. So, jangan terlalu arabis apalagi ontanis di umur tuan yang menua. HBD AND GBU.

***

0 comments:

Post a Comment