KARAKTER REVOLUSIONER - Yudhie Haryono


Abad besar telah melahirkan negara ini. Tapi, kini ia hanya menemukan generasi-generasi kerdil tanpa jiwa api di hati. Kekuatan alam pikiran dengan mudahnya ditundukkan oleh objek materi. Subyek kehilangan diri, tenggelam dalam dunia benda yang mengakibatkannya anonim dan impersonal, tidak lagi memiliki kepribadian. Hubungan manusia satu dengan yang lainnya dipahami sebagai hubungan kebendaan. Kehangatan dan cinta kasih memudar terhisap beratnya gaya benda. Keyakinan dan kedirian kita sebagai manusia sudah lenyap ditelan cakrawala dunia. Memang kenyataan tidak memiliki perasaan. Para kuli membangun gedung-gedung besar dan mall-mall mewah, tapi rumah reot yang ia tinggali. Para nelayan menangkap ikan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, tapi kelambatan pertumbuhan dan kebodohan yang ia dapati. Para petani menanam padi untuk mengenyangkan perut para abdi negeri, tapi kelaparan yang ia alami. Hasil kerja bukan untuk penghidupan diri mereka sendiri, tetapi untuk kekuatan asing di luar diri mereka yang membuat mereka semakin miskin. Semakin mereka mengembangkan kerja, semakin tercerabut fisik dan mentalitasnya. Kehidupan batiniah   bertabrakan dengan penyempurnaan hakikat kemanusiaan yang terdalam. Mereka pun pantas mengeluh dengan menunjuk roh pengetahuan dan keadilan sebagai juru bicaranya, kapankah semangat zaman merekah, mengantar kami menuju altar kemerdekaan dan kejayaan sejati? Apakah alam raya betul-betul bisu dan tuli, abai lagi tak peduli? Betulkah negeri yang begitu subur ini mengidap kutukan tak henti-henti? Lingkaran setan kemiskinan, kebodohan dan kekerasan, yang tak memiliki ujung dan pangkalnya merantai kuat nasib anak negeri. Kapan keselamatan dan pembebasan menyapa jiwa-jiwa kami yang robek disayat oleh tajamnya kenyataan? Apa yang harus kami lakukan untuk membuat negeri ini mengabdi pada kemakmuran dan kesejahteraan? Apa  betul negara bisa berubah? Apa hanya cukup dengan mengharap agar negara mau berubah, atau perlu kami paksa dengan mengangkat senjata api? Maukah angin perubahan berhembus ke pihak kami? Dan, bagaimana menyambut perubahan yang selama ini selalu dimentahkan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak menghendaki kami, kaum miskin dan buruh-kuli mendapatkan perbaikan diri? Mulai dari manakah kami harus membangun kembali masyarakat dan negara ini?

Adalah Materialism-Historis Karl Marx (1818-1883), dalam bukunya German Ideology, yang pertamakali merumuskan bahwa cara manusia memproduksi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya menentukan bagaimana ia harus berpikir, bertindak dan merasakan. Hal ini memiliki implikasi, kalau cara produksi manusia menentukan bagaimana arah perkembangan masyarakat. Tesis di atas dilandasi oleh teorema bahwa bukannya pikiran yang menentukan kekuatan material, tapi kekuatan materiallah yang menentukan dan mempengaruhi kesadaran manusia. Namun, risalah yang hendak diwartakan oleh Marx justeru kebalikan dari hukum yang ia nyatakan sendiri. Kalau kebanyakan manusia terperangkap pikiran dan kesadarannya oleh kekuatan material, maka sebagai kebalikannya, messianisme-profetik Marx berusaha membebaskan pikiran dan kesadaran manusia dari belenggu kekuatan material. Ditulislah hukum-hukum sejarah perkembangan produksi agar kita bisa menemukan kembali keberadaan kita sebagai subyek sejarah dalam roda perputaran ekonomi-politik yang selama ini tidak memiliki tuan dan kendali. Marx layak disebut sebagai nabi atau messiah yang membawa warta penyelamatan namun bukan dengan bahasa wahyu langit tapi messianisme profetik yang dilandaskan pada pengetahuan sekular dan humanisme renaissance. Ia bisa dikritik, diperbaiki dan direvisi agar terus mengaum dalam sejarah, mengundang orang-orang yang terkalahkan oleh kenyataan untuk bergerak melawan nasib yang sering diciptakan oleh negara dan kekuatan material yang menghidupinya, yaitu hasil ciptaan kita sendiri. Maka berdasarkan tesis Materialisme-Historis, meresapi dan mewarisi pembebasan dari determinasi kekuatan material adalah jalan semangat api, yang oleh kaum Marxist, seperti Erich Fromm (1900-1980), disebut dengan “karakter revolusioner.”

Apakah itu karakter revolusioner? Ciri yang pertama, karakter ini bermula dari teorema bahwa kesadaran dan pikiran manusia sering ditentukan oleh sesuatu yang asing dari luar, yaitu kekuatan material, maka yang disebut karakter revolusioner adalah pembebasan diri dari kooptasi, belenggu dan determinasi  kekuatan-kekuatan material yang ada di luar. Apabila seseorang telah dirasuki karakter ini, tentu ia akan merasakan kebebasan dari pengaruh materi, karena materi itu seperti gaya tarik yang membuat kita selalu tergantung dan memunculkan rasa berat. Materi juga yang memicu potensi konflik antar manusia, yang apabila tidak dibatasi, diatur dan dikendalikan akan memundurkan dan mengaburkan kesadaran dan akal-budi kita. Seseorang yang terbebaskan dari gaya berat kekuatan material, tentu pikiran dan akal-budinya bisa berfungsi dengan lebih baik ketimbang ia selalu bergantung pada materi.

Ciri yang kedua, yaitu otonomi. Seseorang yang bebas dari belenggu materi akan merasakan derasnya aliran daya hidup dalam dirinya. Pikiran, perasaan dan tindakannya selalu muncul dari dalam, sehingga ia menjadi tuan pada dirinya sendiri. Manusia bisa dikatakan hidup apabila pikiran dan tindakannya tidak dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan asing dari luar. Ia adalah subjek dalam dirinya sendiri, pengendali sekaligus tuan bagi dirinya sendiri. Inilah yang membedakan mereka dengan budak, yaitu orang-orang yang pikiran dan tindakannya selalu ditentukan dan dipaksa oleh sesuatu dari luar. Maka, sesuatu yang digerakkan dari luar itu tidak hidup, tidak alamiah dan tidak memiliki kualitas moral.

Ciri yang ketiga dari orang yang dihinggapi karakter revolusioner adalah ia mampu berkata “tidak” dan memiliki daya kritik perlawanan terhadap masyarakat dan negara yang telah membusuk dan kehilangan keutamaan-keutamaan (arĂȘte). Ia sering melawan arus umum, menjadi pemberontak, selalu tidak puas dan memposisikan dirinya independen dari pengaruh masyarakat kepadanya. Seolah-olah apabila ia berdiri di tengah masyarakat, cakrawala lenyap dalam dirinya dan bukan dirinya yang lenyap ditelan cakrawala. Ia selalu eksis dan mempengaruhi perkembangan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Manusia jenis ini menjadikan sejarah dan masyarakat sebagai ruang aktualisasi bagi potensi-potensi alamiah dalam dirinya. Mereka adalah orang-orang terakbar dalam sejarah, orang-orang yang sanggup memekarkan potensi terdalam pada dirinya, orang-orang yang telah sampai pada pengalaman puncak.

Ketiga ciri karakter revolusioner yang saya sebutkan tadi merupakan self-defense mechanism (mekanisme pertahanan diri) yang harus kita miliki apabila kita mau disebut sebagai subjek sejarah, tuan dalam rumahnya sendiri. Sebagaimana tesis Louis Althussers (1918-1990), banyak manusia ketika ia masuk dalam struktur negara, ia pun berubah menjadi anonim dan impersonal seperti benda, kepribadiannya hilang ditelan struktur negara yang massif dan gigantik. Struktur negara melahap manusia  dan menjadikannya hanya sekedar sekrup-sekrup kecil dari bagian bangunan mesin yang besar dan bergerak sendiri. Maka, untuk merebut kembali kendali sejarah atas negara dan masyarakat, sangat perlu bagi kita untuk membangun diri terlebih dahulu menjdi subjek yang otonom dan independen sebelum berperang di tengah medan struktur negara dan masyarakat. Sebuah pesan singkat bagi kita, manusia Indonesia yang dihinggapi api revolusi.

***

0 comments:

Post a Comment