Cerbung #15 "KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN" - Yudhie Haryono


Ketika sang burung hidup, mereka makan semut. Ketika burung mati, semut makan bangkainya. Hidup adalah perputaran (daulah) dan pergantian (badalan). Tapi, elite negara kita adalah generasi yang menolak perputaran dan pergantian. Mereka ingin ketika aku lahir, mereka sudah jadi penguasa. Begitu juga ketika aku mati, mereka masih berkuasa. Lupa pada hukum alam, sunnah Tuhan yang esa.

Maka, membusuklah takdir bangsa ini. Yang lama sekarat. Yang baru tak kunjung datang mendekat. Kisah dari kasih tanpa duplikat. Bukan takdir suci cinta sejati.

"Cinta sejati adalah ketika kamu menemukanku dalam cahaya masa muda kita, lalu kita menjadi tua bersama (Guru Ekawati Wijaya: 2016)." Sudahkah kalian temukan cinta yang sesungguhnya?

Saatnya kita cari dan temukan. Pada ujungnya. Senyummu tak ditemukan lewat doa. Kasihmu tak ditemukan lewat agama. Rindumu tak ditemukan lewat kitab suci. Cintamu tak ditemukan lewat dogma. Kangenmu tak ditemukan lewat rumah ibadah, apalagi di gedung-gedung pemerintah.

Rupanya. Engkau hanya diciptakan Tuhan untuk hidup di hatiku; tak sudi hidup dalam kenyataan revolusiku. Dan, setelah hidup yang sepi, engkau tahu aku mencintaimu: memeluk semua cerita-ceritamu. Maka,

”Siapa tahu kamu tidak mencintainya, padahal itu baik bagimu. Siapa tahu kamu mencintainya, padahal itu tidak baik bagimu. Tuhan mengetahui, sedang kamu tidak" (QS.2:216).

Kata para taipan gila, "kuwariskan tanah merdeka ini pada kalian. Urus dan usirlah pribumi miskin dan bodoh dari tanah-tanah mereka. Sbb penderitaan mereka adalah kebahagiaan kalian."

Ini kegilaan politik. Zaman gila, kata Raden Joyoboyo, adalah, "Akeh janji ora ditepati" (banyak janji tidak ditepati), "akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe" (banyak orang berani melanggar sumpah sendiri), "manungsa padha seneng nyalah" (manusia saling lempar kesalahan), "akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit" (banyak orang hanya mementingkan duit), "ora ngendahake hukum Hyang Widhi (tidak peduli hukum Tuhan)."

Banjir individu yang egois. Tak ramah pada kemanusiaan. Masuk sorga sendirian.

Tahajudmu individualistik/Berbeda dengan doa purba/Kepadamu yang meniadakan rindu/Kupinjam sakit orang-orang berdosa/Pada tangisnya; menyimpan kebingungan/Perlukah hantu menghapus sekutu/

Karena itu, "keberhasilan kita di masa depan lebih penting, daripada kemiskinan kita di masa kini serta kepedih kita di masa lalu. Dari situ, nalar sadar waktu dan tempat hendaknya diorientasikan ke depan (progresif) agar keberhasilan menjadi pelunasan janji kita kepada generasi selanjutnya.

Memang. Kita tanpa selembar selimut yang mampu menyelimuti gigil duka lara. Tanpa seutas tangan yang bisa hangatkan rasa. Kita semua adalah mayat. Daging sekerat. Tulang melarat. Ke depan itu keniscayaan.

Sejak lalu. Kubisa. Membaca, merangkum, meriset, mengajar, menulis, menunggu mati (7M). Apalagi tuhan yang mentakdirkanku tak ditemukan lewat doa; lewat agama; lewat kitab suci; lewat dogma. Jika ada yang menemukan, itu Tuhan ilusi. Tak lebih hebat dari secangkir kopi. Mitos dagangan kaum pengangguran.

***

0 comments:

Post a Comment