BATTLE OF LEGISLATION DAN PROTOKOL KRISIS INDONESIA - Yudhie Haryono (MWA UTIRA


Apa refleksi dan proyeksi kita pada diskursus reformasi? Menjelang 22 tahun usia reformasi, ternyata kita belum punya "sistem peringatan dini (early warning system)" dan "protokol krisis" kenegaraan guna memastikan keamanan, ketahanan plus kemartabatan negara dan warganegaranya di dunia.

Jika sistem peringatan dini merupakan serangkaian cara kerja jenius untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian krisis kenegaraan maka protokol krisis merupakan metoda mengatasi krisis kenegaraan.

Dalam dua alat itu tentu terwujud akan adanya informasi soal ancaman terhadap tata nilai (Pancasila), ancaman terhadap tata manajemen (Konstitusi), ancaman terhadap tata agensi (TNI, Polri dan lembaga yang khusus), ancaman terhadap tata sejahtera (BUMN dan Koperasi) dan tata sosial (prototipe multikultural).

Mengapa kealpaan itu terjadi? Adalah karena 6 hal:

  1. Kita kalah dalam the battle of souvreignity; 
  2. Kita kalah dalam the battle of constitution; 
  3. Kits kalah dalam the battle of legislation, terutama saat amandemen UUD45 dan turunannya;
  4. Kita kehilangan nilai-nilai Keibdonesiaan; 
  5. Kita kehilangan cita-cita nasional; 
  6. Kita tak punya national security council.

Kekalahan dalam the battle of legislation mengakibatkan kehilangan diskursus negara pancasila dan demokrasi pancasila. Selebihnya, yang tumbuh adalah negara dan demokrasi liberal bahkan kriminal. Dalam demokrasi ini, pemikir kenegaraan Hatta Taliwang (2018) menengarai sedikitnya ada lima cacatnya:

  1. Biaya pilpres langsung secara ekonomi sangat mahal. Cek berapa uang yang harus dikeluarkan APBN yang terus meningkat dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
  2. Biaya sosial dan psikologis juga mahal sekali. Banjir konflik, hoax, fitnah, perceraian, perkelahian dan kematian petugas yang berjumlah ratusan.
  3. Tidak menghasilkan pemerintahan yang fokus selesaikan problem rakyat. Mereka fokus mengembalikan modal dan mencari modal baru buat pemilu berikutnya.
  4. Soal presiden threshold (PT) lama di mana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) telah meninggal, masih dihitung dan digunakan. Sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Tentu ini cacat hukum, cacat akal sehat dan cacat moral.
  5. Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih 31 juta yang misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis dan mengkhianati Pancasila dan konstitusi.

Apa akibat lanjutan dari kekalahan dalam the battle of legislation? Lahirnya pemimpin rapuh bahkan khianat pancasila. Mengutip tesis Wirdhani Asri (2019), "Kepemimpinan nasional rapuh karena kita melakukan rekrutmen pemimpin dengan sistem demokrasi liberal yang mensyaratkan kesetaraan pendidikan dan penghasilan. Karena tidak ada kesetaraan pendidikan dan penghasilan maka timbul tradisi transaksional yang sudah terjadi di negeri ini."

Tentu saja, melahirkan pemerintahan via demokrasi liberal adalah kejahatan tak termaafkan. Tetapi, membiarkan pemerintahan itu tumbuh menjadi orde kleptokrasi jauh lebih berdosa besar.

Pertanyaanya kemudian adalah, "apa produk terbaik dari demokrasi neoliberal?" Tak ragu kita menjawabnya, "ketimpangan sosial." Korban terbesarnya adalah masyarakat urban. Dan, mereka pula yang kini paling menderita di seputar kota-kota besar di Indonesia: miskin, digusur, diusir dan tak ada perlindungan negara.

Tentu ketimpangan sosial adalah pengkhianatan terbesar dari janji kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima dalam pancasila.

Riset-riset soal kekalah dalam perang undang-undang ini juga memberikan bukti tambahan berupa hilangnya nilai-nilai nasional yang melahirkan kehilangan cita-cita nasional. Keduanya memicu lahirnya kealpaan perasaan adanya ancaman nasional sehingga tak punya badan keamanan nasional: punahlah sishankamrata dan tradisi keamanan nasional.

Soal serius "ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan)" terhadap negara dan warganya tentu saja ilmu ini tak diukir di atas batu. Maka, ia tak pasti. Berbeda dengan matematika, ATHG diukir di atas air. Sehingga yang muncul adalah asumsi-asumsi. Tentu berdasarkan data, kejeniusan dan yurisprudensi.

Saat kita tak punya deteksi dini dan protokolnya; tak menyadari ATHGnya, virus demokrasi liberal menghasilkan anak haram "negara swasta" yang berfilsafat pasar adalah tuhan yang maha esa. Di negara seperti itu kita menghadapi delapan problem besar:

  1. Absennya diskursus negara pancasila;
  2. Absennya mentalitas Indonesia;
  3. Absennya sekolahan Indonesia;
  4. Absennya kurikulum Indonesia;
  5. Absennya refrensial Indonesia;
  6. Absennya UU Indonesia;
  7. Berkuasanya oligarki;
  8. Defisit para pahlawan dan ksatria.

Padahal, Indonesia itu terang. Kitalah yang menggelapkannya. Indonesia itu kaya. Kitalah yang memiskinkannya. Indonesia itu damai. Kitalah yang mengkroditkannya. Kita terang, kaya dan damai karena prinsip negara pancasila itu bunyinya "sovereignty of the people, and sovereignty of the government." Jadi, rakyat dulu yang berdaulat, baru pemerintah dan lainnya.

Prinsip itu menghasilkan sistem negara pancasila (SNP) sebagai ”cara pandang sendiri” dalam epoleksosbudhankam untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu mencapai kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dan diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Sistem disebut sebagai “jalan tengah” dari sistem kapitalisme dan komunisme. SNP, sebagaiman dimaknai para pendiri NKRI, merupakan “sistem sendiri”, yang dalam prakteknya direkonstruksi dengan pelacakan historis dan elaboratif dari sudut filsafat ilmu-dengan tiga tahap pembahasan: asal-usul penalaran, serta arah haluan dan penerapannya. Harapannya kita punya tradisi keindonesiaan, kemakmuran dan kemartabatan (3K) khas Indonesia.

Dus, berpancasila hari ini mestinya bergotong-royong menghadapi krisis ekopolsusbudhankam. Sikap itu adalah menyayangi, bukan menyaingi; mendidik, bukan membidik; merangkul, bukan memukul; membina, bukan menghina; mencurahkan, bukan memurahkan; mencari solusi, bukan mencari sensasi; membutuhkan, bukan meruntuhkan; menghargai, bukan melukai; membela, bukan mencela.

Karena itu, mestinya extra pancasila nulla verum (plesetan dari extra ecclesiam nulla Pancasila). Tak ada kebenaran dalam berIndonesia kecuali dengan berPancasila. Jika pancasila tidak dijadikan sumber berIndonesia, kita akan jauh dari cita-cita bernegara.

Di sini, menghadirkan kembali Pancasila dalam berbangsa, bernegara, berdemokrasi, berekonomi dll menjadi sangat penting demi kemerdekaan, keindonesiaan, kemakmuran, keadilan dan kemartabatan (5K) terealisasi di kehidupan kita. Tentu juga agar ketahanan, kedaulatan dan kemandirian berbangsa dan bernegara terasa kuat dan jaya.

Sayangnya yang terjadi adalah rabun sejarah, khianat konstitusi, dibutakan ambisi, dijebak kekuasaan dan dihancurkan oleh KKN.

Ini adalah kisah lima tahap politisi kita. Adakah teladan elite politik yang mampu melewati lima tahap itu dalam kehidupan kita? Rasanya kita perlu memformat ulang tata nilai, tata manajemen dan tata agensi (perkaderan) yang selama ini makin rusak oleh pelapukan zaman. Format soal deteksi dini dan protokol krisis harus segera dilakukan.

Pengalaman krisis keuangan yang dialami dunia, termasuk Indonesia, telah mengajarkan otoritas dunia akan pentingnya sebuah protokol krisis; petajalan solusi; cahaya kunci dan tahap-tahap yang harus dilalui.

Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem aturan yang menjelaskan praktek-praktek (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal.

Sedangkan protokol krisis merupakan usaha memformat sistem kenegaraan dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) untuk memastikan bantuan bagi para otoritas kenegaraan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat.

Tentu saja, deteksi dini dan protokol krisis ini harus berlandaskan Pancasila. Sebab, mengutip Alexander Agung (2018), "jika pancasila itu adalah local genius, maka makna keberadaannya bisa dikonfirmasi pada aspek aspek esoterik dari budaya lokal yang ada: misalnya semangat budaya gotong royong, semangat kekeluargaan atau tenggang rasa."

Persoalannya sekarang struktur sosial kita sudah mengalami pergeseran yang menjurus pada kehidupan individualis. Ketika struktur sosial kita telah berubah, maka modus interaksi kita juga bergeser dan berubah.

Tetapi, yang paling aneh adalah sikap paradoks pemerintahan kita. Di satu sisi mereka mengklaim paling pancasilais dan bertekad mempertahankannya, tetapi pada saat yang sama menyiapkan sarana dan legislasi yang melumpuhkannya.

Belum terlihat upaya untuk merevitalisasi (kecuali membuat BPIP) dan mencari jalan untuk menghancurkan virus yang sedemikian hebat menghancurkan kita. Sehingga, bisa saja yang menjadi musuh pancasila sebenarnya berasal dari tempat di mana ia diaku-aku tanpa dilaksanakan.

Maka, menghadapinya, tak ada jalan lain kecuali kita hidupkan lagi MPR sebagai alat deteksi dini sehingga harus menjadi lembaga tertinggi negara, dan menghadirkan GBHM sebagai protokol krisis Indonesia. Akankah kita bisa?

Semoga saja, aamiin.

***

0 comments:

Post a Comment