HIDUP - Muhammad Arsjad Yusuf



Beberapa hari lalu, tepat setelah membuka pintu, aku melihat seekor kucing berbaring santai di sudut taman rumahku. Kucing itu tidak pernah kulihat sebelumnya di kompleks rumahku. Saat itu hari sedang gerimis, dan sejauh yang dapat kuingat, kucing tidak begitu suka air. Setelah kudekati, ternyata ia terbujur kaku. Mati. Benar-benar mati. Tidak bisa lebih mati daripada itu. Aku menatapnya dengan iba, karena merasa kelak bernasib sama. Untuk menghormatinya, ia kuberi nama Schrodinger.

Wajahnya dipenuhi kerumunan semut, mencegahku melihat raut wajahnya secara utuh dan memastikan apakah ia mati bahagia atau tidak. Penalaran abduktifku menarik kesimpulan, ia sudah tahu ajal akan menghampirinya dan mencari tempat untuk menunggu ajal menjemputnya. Mungkin ia menjauhi tempat asalnya supaya teman dan keluarganya tidak bersedih, dan dari seluruh taman yang ada di dunia ini, ia memilih sudut taman rumahku. Mungkin ia sudah berada di sana dan mati sebelum gerimis turun, atau sudah tidak lagi sanggup berpindah saat itu terjadi.

Aku membayangkan, mungkin ia mirip manusia yang menginginkan taman surga, hanya saja ia memilih taman rumahku sebagai taman surganya. Adakah kehidupan setelah mati baginya? Atau sudut taman rumahku itulah akhir baginya. Lalu apa bedanya dengan kita? Mungkin kita juga bernasib sama, mati adalah akhir segalanya.

Betapa lancangnya aku. Manusia tidak abadi? Tidak abadi?! Yang benar saja? Pikiran cacat macam apa itu? Kita akan hidup selamanya! Kita cukup bijak untuk itu. Saking bijaknya, kita bahkan menamakan spesies kita homo sapiens (manusia bijak). Rasanya aku mulai mengerti mengapa manusia terus menerus berperang dan berebut kekuasaan.

Aku bisa memilih menutup mataku pada hal-hal yang tidak ingin kulihat, seperti melihat jasad Schrodinger dengan jarak kurang dari dua puluh centimeter. Tapi aku tidak bisa menutup pikiranku dari hal-hal yang ingin kuketahui. Karenanya, seperti gerimis yang semakin besar dan menerpa jasad Schrodinger, kata-kata dalam pikiranku be-revolusi menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menghujani diriku dan membuat otakku yang cetek ini semakin tersiksa.

Manusia seringkali menyepelekan kebodohannya sebanyak ia meremehkan kecerdasannya. Kebodohan saja sudah sangat menyiksa. Mengakui kebodohan? Itu seperti bunuh diri. Karena ketidaktahuan adalah sesuatu yang tidak tertahankan, manusia menciptakan jawaban untuk semuanya. Termasuk soal hidup dan kematian. Padahal, khususnya soal kematian, kita manusia tidak lebih tahu dibanding Schrodinger. Aku dan sahabatku sering meledek manusia dengan sebutan ‘bijaksana-bijaksini’. Di mana pun kita berada, kita akan memastikan diri kita selalu terlihat bijak.

Lalu bagaimana semua ini bisa terjadi?

Well, beberapa tahun lalu, tepatnya 13,8 miliar tahun yang lalu, materi dan antimateri saling menghancurkan satu sama lain. Puing-puing kehancuran mereka adalah energi cahaya, seperti ayat ketiga pasal pertama kitab Kejadian: “Jadilah terang!” Ilmuwan menyebutnya Big Bang.

Karena asimetris, materi yang berjumlah lebih banyak itu tersisa, dan menjadi semesta. Kisah energi dan materi itu kita sebut fisika.

Materi dan energi kemudian bercinta, anak cucu mereka adalah atom dan molekul. Genealogi mereka kita namakan kimia.

Fast forward, 4,6 miliar tahun yang lalu bumi terbentuk. Di dalamnya, hukum fisika dan reaksi kimia melahirkan organisme, nama panggilannya adalah biologi. Ia ber-evolusi, menjadi homo sapiens, punya kesadaran, punya kecerdasan, memiliki sihir bernama ‘bahasa’. Mantranya kita sebut konsep, teori, dan fiksi.

Beberapa ribu tahun kemudian, mantra baru muncul di Mesopotamia, ia bernama angka. Sama-sama bahasa, tetapi separuh bisu, ia menjelaskan ukuran. Ia adalah subsistensi mencoba menjelaskan eksistensi. Angka, mencoba menjelaskan realita. Tidak yakin bisa begitu? Bacalah Principia Mathematica kalau berani. Si jenius Bertrand Russell dan sahabatnya menghabiskan sepuluh tahun untuk menghasilkan ratusan halaman hanya untuk memberikan bukti bahwa 1+1=2. Percayalah, bagiku buku filsafat matematika itu isinya seperti mimpi buruk. Aku bahkan tidak begitu yakin Principia Mathematica ditulis untuk dibaca oleh manusia.

Konsep, teori, dan angka mencoba menjelaskan hidup ini melalui fisika, kimia, dan biologi. Tapi fiksi punya pendapat lain. Israel, Siddharta Gautama, Yesus Kristus, dan Muhammad bin Abdullah menggunakannya untuk menjelaskan kehidupan. Surga, neraka, Tuhan, dan keabadian adalah jawaban mereka. Kecuali Siddharta, hidup adalah penderitaan, bebaskan dirimu darinya, itulah nirvana. Saat sebagian besar manusia lain mencari nilai, mereka menciptakan nilai. Sedikit tidak biasa memang, tapi itu keren.

Kemudian aku dan kalian lahir. Melihat Schrodinger mati, aku menulis tulisan ini, dan kalian membacanya. Bukankah sulit dipercaya? Untuk memahami hidup secara utuh, kita harus terlebih dahulu mati. Paradoks macam apa itu? Benarkah kisah setelah kematian seperti yang sebagian orang-orang suci itu katakan? Atau kita semua sebenarnya sama-sama tersesat? Tidak tahu yang telah berlalu, yang sedang terjadi, dan yang akan datang.

Atau memang kematian adalah akhir dari segalanya? Tidak ada lagi yang akan menangisi kita sepanjang masa, tidak ada lagi nafsu sepanjang birahi. Hitam. Gelap. Kosong dan terlupakan. Adakah eksistensi esensi sebelum kesadaran, kecerdasan dan bahasa muncul? Atau tidak ada artinya kah hidup ini sehingga kita harus mengais-ngais maknanya dan menafsirkannya sendiri?

Ribuan tahun manusia mempertanyakan ini, tidakkah membahagiakan bila kita memiliki jawaban pasti untuknya? Sekurang-kurangnya, aku akan mati tenang bila mengetahui siapa yang meledakkan materi dan antimateri dan memulai semua kekacauan ini. Mungkin manusia harus menunggu lebih lama untuk menjadi super jenius dan menemukan jawaban definitif atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Aku tidak butuh satu survey pun untuk mengatakan 99,99% manusia tidak menginginkan kematian. Karena itu ‘semoga panjang umur’ menjadi doa favorit kita. Bukan karena hidup begitu menyenangkan, tapi karena kita tidak tahu apapun soal kematian. Mati adalah keniscayaan, begitu kata orang bijak. Mati adalah masalah teknis, begitu kata sains. Mana yang benar? Waktu akan membuktikannya. Siapa yang tahu nanti akhirnya Google berhasil memenangkan pertarungan melawan kematian dengan sains dan teknologi melalui proyek Calico. Saat kematian menjadi pilihan, seluruh nilai, paradigma, moralitas, dan pertanyaan kita tentu secara radikal akan berubah.

Sayang, saat itu terjadi kemungkinan besar aku dan kalian sudah mati. Persis seperti Schrodinger. Sial.

Aku memberikan sejumlah uang pada manusia bijak lain untuk menguburkan Schrodinger. Kuharap aku melakukan itu sendiri, tapi saat itu aku harus berada di tempat lain, melakukan aktifitas lain yang lebih bijaksana. Aku mendoakanmu Schrodinger, semoga di mana pun kau berada kau mendapat taman lain yang jauh lebih indah daripada taman rumahku.

Aku masih harus melanjutkan hidupku, mencari yang tidak pasti. Membunuh sisa-sisa pertanyaan dalam pikiranku, sambil menunggu mati.

***

2 comments:

  1. Keren Tuan...Matilah sebelum benar"mati yg sesungguhnya...

    ReplyDelete
  2. Keren Tuan...Matilah sebelum benar"mati yg sesungguhnya...

    ReplyDelete