Beberapa
hari lalu, tepat setelah membuka pintu, aku melihat seekor kucing berbaring
santai di sudut taman rumahku. Kucing itu tidak pernah kulihat sebelumnya di
kompleks rumahku. Saat itu hari sedang gerimis, dan sejauh yang dapat kuingat,
kucing tidak begitu suka air. Setelah kudekati, ternyata ia terbujur kaku. Mati.
Benar-benar mati. Tidak bisa lebih mati daripada itu. Aku menatapnya dengan
iba, karena merasa kelak bernasib sama. Untuk menghormatinya, ia kuberi nama Schrodinger.
Wajahnya
dipenuhi kerumunan semut, mencegahku melihat raut wajahnya secara utuh dan memastikan
apakah ia mati bahagia atau tidak. Penalaran abduktifku menarik kesimpulan, ia
sudah tahu ajal akan menghampirinya dan mencari tempat untuk menunggu ajal
menjemputnya. Mungkin ia menjauhi tempat asalnya supaya teman dan keluarganya
tidak bersedih, dan dari seluruh taman yang ada di dunia ini, ia memilih sudut
taman rumahku. Mungkin ia sudah berada di sana dan mati sebelum gerimis turun,
atau sudah tidak lagi sanggup berpindah saat itu terjadi.
Aku
membayangkan, mungkin ia mirip manusia yang menginginkan taman surga, hanya
saja ia memilih taman rumahku sebagai taman surganya. Adakah kehidupan setelah
mati baginya? Atau sudut taman rumahku itulah akhir baginya. Lalu apa bedanya dengan
kita? Mungkin kita juga bernasib sama, mati adalah akhir segalanya.
Betapa
lancangnya aku. Manusia tidak abadi? Tidak abadi?! Yang benar saja? Pikiran cacat
macam apa itu? Kita akan hidup selamanya! Kita cukup bijak untuk itu. Saking
bijaknya, kita bahkan menamakan spesies kita homo sapiens (manusia
bijak). Rasanya aku mulai mengerti mengapa manusia terus menerus berperang dan
berebut kekuasaan.
Aku bisa
memilih menutup mataku pada hal-hal yang tidak ingin kulihat, seperti melihat
jasad Schrodinger dengan jarak kurang dari dua puluh centimeter. Tapi aku tidak
bisa menutup pikiranku dari hal-hal yang ingin kuketahui. Karenanya, seperti
gerimis yang semakin besar dan menerpa jasad Schrodinger, kata-kata dalam
pikiranku be-revolusi menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menghujani diriku dan
membuat otakku yang cetek ini semakin tersiksa.
Manusia
seringkali menyepelekan kebodohannya sebanyak ia meremehkan kecerdasannya.
Kebodohan saja sudah sangat menyiksa. Mengakui kebodohan? Itu seperti bunuh
diri. Karena ketidaktahuan adalah sesuatu yang tidak tertahankan, manusia
menciptakan jawaban untuk semuanya. Termasuk soal hidup dan kematian. Padahal,
khususnya soal kematian, kita manusia tidak lebih tahu dibanding Schrodinger.
Aku dan sahabatku sering meledek manusia dengan sebutan ‘bijaksana-bijaksini’.
Di mana pun kita berada, kita akan memastikan diri kita selalu terlihat bijak.
Lalu
bagaimana semua ini bisa terjadi?
Well, beberapa tahun lalu,
tepatnya 13,8 miliar tahun yang lalu, materi dan antimateri saling
menghancurkan satu sama lain. Puing-puing kehancuran mereka adalah energi
cahaya, seperti ayat ketiga pasal pertama kitab Kejadian: “Jadilah terang!” Ilmuwan
menyebutnya Big Bang.
Karena
asimetris, materi yang berjumlah lebih banyak itu tersisa, dan menjadi semesta.
Kisah energi dan materi itu kita sebut fisika.
Materi
dan energi kemudian bercinta, anak cucu mereka adalah atom dan molekul.
Genealogi mereka kita namakan kimia.
Fast
forward, 4,6
miliar tahun yang lalu bumi terbentuk. Di dalamnya, hukum fisika dan reaksi
kimia melahirkan organisme, nama panggilannya adalah biologi. Ia ber-evolusi,
menjadi homo sapiens, punya kesadaran, punya kecerdasan, memiliki sihir
bernama ‘bahasa’. Mantranya kita sebut konsep, teori, dan fiksi.
Beberapa
ribu tahun kemudian, mantra baru muncul di Mesopotamia, ia bernama angka.
Sama-sama bahasa, tetapi separuh bisu, ia menjelaskan ukuran. Ia adalah
subsistensi mencoba menjelaskan eksistensi. Angka, mencoba menjelaskan realita.
Tidak yakin bisa begitu? Bacalah Principia Mathematica kalau berani. Si
jenius Bertrand Russell dan sahabatnya menghabiskan sepuluh tahun untuk
menghasilkan ratusan halaman hanya untuk memberikan bukti bahwa 1+1=2.
Percayalah, bagiku buku filsafat matematika itu isinya seperti mimpi buruk. Aku
bahkan tidak begitu yakin Principia Mathematica ditulis untuk dibaca
oleh manusia.
Konsep,
teori, dan angka mencoba menjelaskan hidup ini melalui fisika, kimia, dan
biologi. Tapi fiksi punya pendapat lain. Israel, Siddharta Gautama, Yesus
Kristus, dan Muhammad bin Abdullah menggunakannya untuk menjelaskan kehidupan.
Surga, neraka, Tuhan, dan keabadian adalah jawaban mereka. Kecuali Siddharta,
hidup adalah penderitaan, bebaskan dirimu darinya, itulah nirvana. Saat
sebagian besar manusia lain mencari nilai, mereka menciptakan nilai. Sedikit
tidak biasa memang, tapi itu keren.
Kemudian
aku dan kalian lahir. Melihat Schrodinger mati, aku menulis tulisan ini, dan
kalian membacanya. Bukankah sulit dipercaya? Untuk memahami hidup secara utuh,
kita harus terlebih dahulu mati. Paradoks macam apa itu? Benarkah kisah setelah
kematian seperti yang sebagian orang-orang suci itu katakan? Atau kita semua
sebenarnya sama-sama tersesat? Tidak tahu yang telah berlalu, yang sedang
terjadi, dan yang akan datang.
Atau memang
kematian adalah akhir dari segalanya? Tidak ada lagi yang akan menangisi kita
sepanjang masa, tidak ada lagi nafsu sepanjang birahi. Hitam. Gelap. Kosong dan
terlupakan. Adakah eksistensi esensi sebelum kesadaran, kecerdasan dan bahasa
muncul? Atau tidak ada artinya kah hidup ini sehingga kita harus mengais-ngais
maknanya dan menafsirkannya sendiri?
Ribuan
tahun manusia mempertanyakan ini, tidakkah membahagiakan bila kita memiliki
jawaban pasti untuknya? Sekurang-kurangnya, aku akan mati tenang bila
mengetahui siapa yang meledakkan materi dan antimateri dan memulai semua
kekacauan ini. Mungkin manusia harus menunggu lebih lama untuk menjadi super
jenius dan menemukan jawaban definitif atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku
tidak butuh satu survey pun untuk mengatakan 99,99% manusia tidak menginginkan
kematian. Karena itu ‘semoga panjang umur’ menjadi doa favorit kita. Bukan
karena hidup begitu menyenangkan, tapi karena kita tidak tahu apapun soal kematian.
Mati adalah keniscayaan, begitu kata orang bijak. Mati adalah masalah teknis,
begitu kata sains. Mana yang benar? Waktu akan membuktikannya. Siapa yang tahu
nanti akhirnya Google berhasil memenangkan pertarungan melawan kematian dengan
sains dan teknologi melalui proyek Calico. Saat kematian menjadi pilihan, seluruh
nilai, paradigma, moralitas, dan pertanyaan kita tentu secara radikal akan
berubah.
Sayang,
saat itu terjadi kemungkinan besar aku dan kalian sudah mati. Persis seperti
Schrodinger. Sial.
Aku
memberikan sejumlah uang pada manusia bijak lain untuk menguburkan Schrodinger.
Kuharap aku melakukan itu sendiri, tapi saat itu aku harus berada di tempat
lain, melakukan aktifitas lain yang lebih bijaksana. Aku mendoakanmu
Schrodinger, semoga di mana pun kau berada kau mendapat taman lain yang jauh
lebih indah daripada taman rumahku.
Aku
masih harus melanjutkan hidupku, mencari yang tidak pasti. Membunuh sisa-sisa
pertanyaan dalam pikiranku, sambil menunggu mati.
***
Keren Tuan...Matilah sebelum benar"mati yg sesungguhnya...
ReplyDeleteKeren Tuan...Matilah sebelum benar"mati yg sesungguhnya...
ReplyDelete