KETIKA AKU MENULIS - Muhammad Arsjad Yusuf


Di sore yang cerah, di kedai kopi yang sejuk di kota Bogor, aku berbincang dengannya. Hanya terdemarkasi meja kecil yang di atasnya terdapat gelas kopi dinginku yang berembun. Menjadi bukti hukum kedua termodinamika, entropi, masih berlaku dan menandakan waktu sedang berjalan.

Ia bersabda, “Menulislah, kau tidak tahu kapan kau akan mati”. Kujawab padanya bahwa aku sudah berniat menulis buku, tentang operasi-operasi intelijen Muhammad yang badan intelijennya dikepalai sahabatnya, Abu Bakar. Ia menutup, “Sementara menunggu, tulislah artikel pendek, apa saja, beberapa paragraf cukup”.

Aku bisa melihat demarkasi fisik seperti meja, serta menandai perjalanan metafisik waktu melalui entropi, tapi kata dan kalimat tidak berbatas yang nyata. Mereka masuk begitu saja ke dalam pikiranku dan beritikaf di sana. Aku tahu itu terjadi, hanya karena setelahnya, aku mulai menulis.

Tentu saja sebelumnya aku pernah menulis. Tugas akhir sarjana, makalah kuliah magister, jurnal prasyarat tesis. Semuanya soal hukum, jurusan kuliahku, ilmu aneh yang isinya penuh basa-basi. Bila ‘free will’ memang nyata adanya, kupastikan tidak ada kehendak bebasku dalam setiap tulisanku itu. Kutulis hanya karena fardhu ‘ain yang dibebankan institusi pendidikanku, yang kutahu tidak akan membuatku lebih pintar atau lebih bodoh. Menulis sesuai kehendakku, baru kumulai setelah sore itu.

Einstein pernah berkata, “Perbedaan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan hanyalah ilusi belaka”. Karena itu, ketika gelombang elektromagnetik menerpa huruf dalam tulisanku dan memantulkannya pada kornea matamu sehingga kau melihatnya, saat itu juga aku sedang menulis huruf yang sama. Ketika cahaya menerangi fotoreseptor di bagian retina di belakang matamu sehingga kau melihat kata dalam tulisanku, saat itu juga aku sedang menulis kata yang sama. Ketika otakmu memutar kalimat yang tertangkap terbalik dalam retina matamu, saat itu juga aku sedang menulis kalimat yang sama. Saat seluruh huruf, kata, dan kalimatku teruntai utuh dalam pikiranmu dan kau selesai membacanya, saat itu juga aku selesai menuliskannya.

Bila kau dan aku tidak berbatas waktu, jangan kau kira kita berbatas ruang. Asal kau rasakan perasaan dalam tulisanku, percayalah, kau dan aku lebih dekat dari tiada berjarak. Karena itu, meski kau baca tulisanku saat aku sudah mati, kau bukan hanya ada di sisiku saat aku menuliskannya, kau ada dalam diriku seperti aku ada dalam dirimu. Hanya berbatas kesadaran dan takdir. Aku menulis, kau membaca.

Kuharap kau tahu. Tak jarang ketika menulis, aku harus menahan air mataku.

Karena, ketika aku menulis tentang Tuhan, aku belum pernah berbicara apalagi bertemu dengan-Nya. Sedang begitu banyak manusia cerdas yang mengetahui dengan pasti yang Tuhan halalkan, haramkan dan makruhkan. Mengetahui saat Tuhan memberi azab atau memberkahi suatu negeri. Tanpa bukti bicara atau bertemu dengan-Nya, mereka dipuja dan dipercaya. Karena itu, ketika menulis tentang-Nya, seringkali kuurung menulis seutuhnya. Menghormati mereka yang kusayang dan kucinta, beserta apa yang mereka pilih untuk puja dan percaya.

Ketika aku menulis tentang agama, diterangi berbagai literatur yang tabu. Aku teringat begitu banyak mereka yang terkurung gelapnya otoritas manusia, tersandera dogma, teracuni benci. Terhipnotis ia yang katanya paling tahu kitab suci. Ia yang menguasai kebenaran dan semua jawaban pertanyaan dunia akhirat. Karenanya ia boleh menyalahkan kelompok lain, memaksakan kehendaknya, kalau perlu membunuhnya. Padahal aku tahu, dulu kitab suci memberi makna bagi manusia, kini ia yang memberi makna bagi kitab suci. Karena itu, kulihat ia bersusah payah mendamaikan sains dengan kitab suci. Menemukan ayat dari sains, bukan sebaliknya. Dengan itu, ia merasa paling tahu segalanya. Padahal sains yang ia damaikan itu berkata, komposisi utama dirinya hanyalah hidrogen, oksigen, dan karbon. Persis komposisi utama kotoran yang keluar dari anusnya. Molekul dalam segelas air berjumlah lebih lebih banyak dari jumlah gelas yang dapat menampung lautan. Karenanya, air yang ia gunakan untuk bersuci, molekulnya pernah melintasi saluran kemih Namrud, Fir’aun, dan Qorun. Serupa itu, udara yang ia hirup saat mengaji, molekulnya pernah melewati paru-paru Abu Jahal dan Abu Lahab saat asyik menista dan mengumpat Nabi. Kalau merasa paling tahu segalanya, tolong carikan juga untuk itu ayatnya.

Ketika aku menulis tentang Muhammad, dosanya adalah kemuliaan bagiku, khilafnya adalah mukjizat bagiku. Kurentangkan tanganku selebar-lebarnya pada yatim piatu itu, kudekap ia sepenuh hati dengan seluruh jiwaku. Tanpa tanya dan cela. Ketika ia suci bagiku sebagaimana adanya, aku tahu mereka pamrih mencintanya. Bermaharkan pahala, syafa’at, dan surga.

Ketika aku menulis tentang sains, sejauh yang kumampu. Aku teringat mereka yang tidak menikmati luangnya waktu, untuk menghibur diri dengan biologi kuantum atau astrofisika, apalagi menuliskannya. Aku pun berutang pada mereka yang memasak makananku, mencucikan piring dan pakaianku, menyuguhkan kopi di kedai favoritku, agar aku bisa bersantai dan menuliskannya. Demi setiap ledakan supernova di alam semesta ini. Di hadapan mereka semua, aku manusia paling bodoh di dunia.

Ketika aku menulis, terkadang kuingat ia yang bersabda di sore itu. Teringat mimpi dan cita-citanya akan Indonesia yang raya, menjadi mercusuar dunia. Hanya untuk mendapati dirinya belum memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk meraihnya. Aku pun tertegun, menghentikan tulisanku, mengingat betapa banyak mereka yang sudah berkuasa di negeri ini malah merajut dosa dan dusta bagi bangsa. Tanpa simpati. Tanpa empati. Pada derita bangsa, apalagi dunia. Jangan-jangan, demi berkuasa kita harus merelakan simpati dan empati enyah dulu untuk selamanya. Hanya untuk menemukan diri kita amnesia pada mimpi dan cita-cita. Apapun itu, aku tetap berdoa untuknya.

Ketika aku menulis soal hidup, aku teringat spesies diriku. Sumber utama masalah dunia, bernama manusia. Anak haram alam semesta. Sejak lahirnya merusak darat, laut, dan udara. Membasmi makhluk lain hingga punahnya, membantai sesama. Terlalu suci untuk mengakuinya, hingga menyalahkan setan dan Iblis untuk semua. Ia dengan geosentrisme mengira bumi yang ia diami pusat segalanya. Nicolaus Copernicus menyadarkannya. Ia dengan humanisme mengira dirinya paling berarti di seantero jagat raya. Persis anak tujuh tahun mengira dirinya paling spesial dan semesta bertawaf mengelilinginya. Sambil merasa yang terhebat adalah ras, bangsa, atau agamanya. Kuharap sains menyadarkannya. Mereka semua dari sel yang sama. Tanpa itu, jangan harap damai akan ada. Hanya berebut kuasa, perbatasan dan sumber daya, sampai mati semua.

Ketika aku menulis, aku teringat, betapa luang waktu yang kumiliki, betapa kenyang perut yang kuisi, betapa nyaman kasur yang kutiduri, betapa empuk sofa yang bokongku duduki, betapa sejuk ruangan yang kudiami. Sedang kutahu di berbagai belahan dunia dan negeri, begitu banyak anak-anak miskin tanpa waktu luang untuk dimiliki, dengan kelaparan perutnya diisi, tanpa alas yang layak untuk ditiduri, apalagi sofa bersantai untuk diduduki, sedangkan ruangan sejuk hanyalah sebatas mimpi, dan untuk itu semua aku pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menyesali. Demi setiap nafas yang telah kuhembuskan sepanjang hidupku. Di hadapan mereka semua, tulisanku hanyalah omong kosong belaka.

Kalau kau belum pernah menulis sesuai kehendak hatimu, maka menulislah. Sejauh kata mampu mengungkap perasaanmu, sejauh kalimat mampu menjangkau sudut tergelap pikiranmu. Meski kadang kau akan terlupa mengungkap derita sesama, meski kadang kau akan terlupa tiada sanggup kau jangkau sudut tergelap dunia. Bila kau temukan kesedihan di dalamnya, semoga padamu  kebahagiaan kelak menemukan jalannya. Demi ruang, waktu, dan apa pun yang berada diantaranya. Pada ia yang bersabda di sore itu, aku berutang untuk selamanya.

***

0 comments:

Post a Comment