SANI DAN WIDADI, Yudhie Haryono


DI NEGARAMU, yang paling bahagia adalah yang tak tahu; yang paling beruntung adalah yang lugu. Sebab tak ada yang memburunya, tak ada jalan yang harus ditempuhnya, tak ada tempat ke mana ia harus pergi, tak ada utang yang harus dibayarnya. Mirip jokoei di ngendonesiya.

Karena itu, aku bisa mengerti betapa sakitnya hatimu. Aku tahu betapa menderitanya dirimu. Sebab, engkau bercahaya tanpa api dan sinar mentari; bertahta tanpa kursi.

Melihat lahiriahmu yang "baik" sesungguhnya aku tidak paham, apa sebab sakitmu diberikan Tuhan: apakah karma dari tindakanmu di masa lalu (kakek-nenek dan ortu), ataukah investasi bagi generasi setelahmu (anak-cucumu). Sebab yang engkau rasakan adalah sakit psikis (jiwa) dan berakibat raga (badan); bukan sebaliknya.

Kini, rasanya seluruh kejeniusanku tumpul jika mencari solusi dari problemmu. Ujung pangkalnya di mana? Hulu hilirnya apa? Aku sungguh-sungguh tak tahu.

Sekedar mengingat detik-detik peradabanmu, aku hanya rindu. Fajar sebelum hari raya, setelah tahajud dan jamaah subuh di masjid, engkau masih mengirim puisi. "Yang terparah dalam dunia kita adalah keadaan tidak ada keputusan. Tidak ada kejelasan. Yang anehnya itu berasal dari kita semua. Karenanya, kuselalu berdoa. Sebab doa adalah bahasa rindu dan cinta yang paling cepat sampai ke hati tanpa perlu didengar dan dibaca."

Aku membacanya sambil bertakbir. Lalu aku sadar, setelahnya engkau hilang sampai kini tak ada kabarnya sama sekali. Duh gusti kang murbeing jagad: di manakah kini ia yang sudi bagi kaum miskin?

Masih ingatkah engkau pada ketikanmu setahun lalu. Sebuah ode yang sangat menggigilkan jiwaku, kau kirim tengah malam saat bulan purnama. "Jangan engkau lepaskan genggam tanganku. Mohon jangan. Bila aku sudah tiada dapat berdiri teguh. Sudah lumpuh karena rindu. Hadirlah selalu saat suka dukaku. Aku perlu kamu di setiap waktuku. Aku selalu perlu kamu wahai pangeranku. Hai pemilik rahasia hatiku. Pencuri jiwaku. Perampok masa depanku."

Jika ini yang sedang engkau rasakan, tulislah surat cinta buatku. Bacalah kitab Bagawatgita di depanku. Potretlah perkampungan kumuh dan mari kita bagi beasiswa. Agar tak ada lagi nista dan keluh peluh.

Sungguh. Jika ada tragedi yang tak cukup ditulis dengan seluruh pohon di dunia yang dijadikan pena, itulah sejarah tragedimu. Jika ada kerinduan yang tak cukup ditulis dengan seluruh air di alam raya sebagai tinta, itulah kisah rindumu.

Untukmu, sekali lagi rasanya seluruh kejeniusanku tumpul jika mencari solusi dari problemmu. Ujung pangkalnya di mana? Hulu hilirnya apa? Aku sungguh-sungguh tak tahu engkau kini sedang apa.

***

0 comments:

Post a Comment