AGAMA DAN INDONESIA - Yudhie Haryono



Agar tak seperti kuburan, mari berdendang. "Di sini kau dan aku/terbiasa bersama/menjalani kasih sayang bahagia kudenganmu. Pernahkah kau menguntai/hari paling indah/kuukir nama kita berdua/di sini surga kita. Bila kita mencintai yang lain/mungkinkah hati ini akan tegar/sebisa mungkin tak akan pernah/
sayangku akan hilang. 

If u love somebody
could we be this strong. I will fight to win
our love will conquer all wouldn't risk my love
even just one night our love will stay in my heart/my heart.

Pernahkah kau menguntai. Hari paling indah. Kuukir nama kita berdua. Di sini surga kita. Bila kita mencintai yang lain. Mungkin kah hati ini akan tegar. Sebisa mungkin tak akan pernah sayangku akan hilang."

Agama sejatimu takkan pernah sanggup untuk menyakitimu. Tetapi, kesejatian itu mirip iman: yazid wa yangkus. Negara sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu. Tetapi, kelupaan itu momen kritis bersendi akal: sihah wa marid.

Membincang agama, adalah membicarakan teka-teki yang tak sempurna. Mirip melukis Indonesia. Begitu luas tetapi paria. Begitu kaya tetapi menderita. Nah, soal agama, mungkin kita bisa merujuk ke buku "Sejarah Tuhan" ataupun "The Great Transformation" karya Karen Amstrong.

Wanita ini menyuguhkan hasil riset penting bagaimana agama-agama adalah sesuatu yang berubah, berinteraksi dan berproses sedemikian rupa dari satu kepercayaan ke model kepercayaan yang lain. Maka konsepsi “dialog agama-agama” menemukan pintu masuknya. Keramahan dan toleransi mempunyai basis argumennya. Gotong-royong memiliki landasan filosofisnya.

Nah, soal Indonesia, mungkin kita bisa merujuk pada buku, "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Bung Karno. Juga buku, "Negara Paripurna" karya Yudi Latif. Pada dua buku itu, tesisnya serupa walau tak sama: Indonesia bukan barang jadi. Ia tapal antara. Jembatan emas. Jika berhenti, mati. Jika berlari, lihat belakang, kanan kiri dan tatap fokus ke depan. Tetapi harus selalu diingat: tanah-air-udara ini milik generasi penerus yang kita pinjam. Jangan kita wariskan dalam keadaan bangkrut dan minus martabat. Maka konsepsi revolusi menemukan pijakannya. Pemberontakan mendapat yurisprudensinya.

Sudah lama, agama dan Indonesia berada bersama kita, dari kita, oleh kita semua tapi minus untuk kita. Keduanya beredar dan menjadi udara yang kita hirup. Karenanya, tak ada agama dan indonesia tanpa teks, bahasa dan sejarah. 

Tak ada teks tanpa tafsir. Tak ada tafsir tanpa sengketa. Tak ada sengketa tanpa darah dan air mata. Tak ada darah tanpa kebodohan. 

Tak ada sejarah tanpa manusia. Tak ada manusia tanpa cita-cita. Tak ada cita-cita tanpa revolusi. Tak ada revolusi tanpa kolonisasi (penjajahan).

Tak ada bahasa tanpa identitas. Tak ada identitas tanpa perjuangan. Tak ada perjuangan tanpa penjajahan. Tak ada penjajahan tanpa ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Dus, kata kunci memahami agama dan Indonesia cukup tiga: kebodohan, penjajahan, iptek. Ketiganya terhubung dengan liberte, fraternite dan egalite.

INGAT: KEBODOHAN MENDATANGKAN PENJAJAHAN. DAN PENJAJAHAN MENTERNAK PENDERITAAN. CARA MENIKAMNYA DENGAN IPTEK.

Kini, agama dan Indonesia bertemu muka. Kawin-mawin. Membentuk lingkaran nyata di dunia. Tapi, tak terlalu peduli dengan nasib manusia: utamanya yang miskin, bodoh dan tuna daksa. Terutama manusia Indonesia: utamanya orang bodoh dan kalah.

Maka kusaksikan betapa kasihan kalian warga negara Indonesia: bangga membela agama dan Indonesia, padahal itu bukan agama dan Indonesia yang sesungguhnya. Melainkan agama dan Indonesia ciptaan penjajah dan begundal kolonial saja. Yang diangankan dan dipraktekkan demi perut gendut dan rakus mereka saja.

Tuan-tuan yang bijak. Tanpa kerja dan pikiran raksasa (gotong-royong untuk revolusi dan revolusi untuk gotong-royong) kini dan nanti, agama dan Indonesia adalah wajah buruk plus syorga yang tak dirindukan (inferno): tak lebih, tak kurang.

***

0 comments:

Post a Comment