Cerpen Hati, MERATAP TAK SUDAH-SUDAH - Yudhie Haryono



Jumat. Kekasih. Ini dinding ratap. Aku tahu curhat ini tak berarti. Mirip ketikan paru guru yang pingin gaji ke-14. Maka, aku masih di sini. Menenun kebekuan berbalut sepi yang teramat dalam. Rindu yang tak mau pergi dari jiwa-jiwa yang tegar mencari. Segenggam berlian setrilyun istana di tiap kota. Kecuali ia mendengar celotehmu yang tegar, yang mempercayai waktu. Bahwa aku begitu mencintaimu: seperti petugas perpus pada buku-buku.

Aku sudah punya buku dan tokonya. Cuma tak laku sehingga rumah kecilpun tak terbeli. Apalagi apartemen di menteng. Engkau masih sabar hidup menderita?

Hidupku bagaikan secangkir kopi robusta di pagi hari: pahit, asam dan manis datang bersamaan. Sayangnya aku tak kuasa menikmatinya. Pikiran dan jiwaku lumpuh. Yang ada hanya kekasihku dan "tragisnya usaha" tanpa ujung. Yang hutang tak kunjung bayar, yang beli tak kunjung mentransfer, yang pesan barang tak kunjung datang, kebon tak berbuah, para kontraktor di kontrakan pada menunda pembayaran, undangan ceramah dan sekolah hanya dibayar 2M: makasih mas.

YANG ADA HANYA PEMILU DAN OJEK#
Menunggu mati sambil menghabiskan tabungan. Bagaimana hidupmu kekasih? Masih betah ngerumpi agama, jenazah, kuburan dan memuja kodok? Nangudzubillah. Cukuplah aku dan mukidi jadi korbannya.

Kasih. Kau tahu? Selama rezim tak mau merealisasikan janji dan harapan konstitusi, selama itupula warga negara mencari alternatif. Terlebih, rezim kita kini berfilsafat: aku rakus maka aku ada. Aku ada karena menjajah saja. Aku menjajah maka aku kaya.

Kini kekuasaan di sekitar kita sedang anarkis karena tidak faham filosofi bernegara. Kemampuannya hanya pedagang kayu tanpa tahu akibatnya. Negara plonga-plongo, republik rentenir. Sempurna sudah.

Kekasih. Jumat ini. Rasanya lama tak ketemu kawan-kawan dan dosen di kampus. Setelah ngobrol dan bertemu, kami punya hipotesa yang sama: demokrasi ultraliberal yang kita jalani hanya menyuburkan pencuri. Para pencuri itu tumbuh di mana saja dan kapan saja. Lihatlah, hampir tiap hari KPK tangkap koruptor. Tak habis-habis.

Demokrasi kita bukan lagi demokrasi pancasila karena telah berubah wujud menjadi demokrasinya para oligark, jaringan cukong, sindikat preman jalanan dan para politisi busuk.

Demokrasi kita juga baru sebatas ajarkan caci-maki. Di mana dan kapan saja. Kupaham saat sudah lama tak ke kampus tercinta Universitas Indonesia yang tak punya mata kuliah "keindonesiaan." Sebelum diskusi, mampir Starbuck di perpus samping masjid. Eh... kok berubah jadi kaffe Javaroma. Baru tahu kalau jaringan Starbuck bisa "bangkrut" atau kenapa yah? Penasaran pisan. Kau tahu kekasih?

Pemimpin bermental miskin menjawab problema hari ini dengan rumus masa lalu. Akhirnya stagnan dan mengaborsi masa depan. Jika punya pemimpin seperti itu, kita cukup layak untuk memakinya.

Selain itu, demokrasi kita juga melahirkan rentenir. Tak percaya? Kini, tiga tahun kita telah menipu diri sendiri, karena pemerintahan yang paling biadab sekalipun menyumpahi tiap-tiap bentuk korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN); kita menyumpahi pemerintah yang menyuburkan utang-piutang; kita sumpahi pemerintah yang membangun badannya sambil lupa menyehatkan jiwanya.

Jumat. Meratap. Kekasih. Demokrasi kita juga hanya hasilkan perut kembung pejabat. Semuanya dikangkangi. Maka, biarlah dik Kowi membabi buta. Semua disuruh jadi cawapresnya. Di udara, laut dan darat ia menang. Semua partai bisa ia kuasai. Banyak ulama ia sumpel mulutnya. Banyak aktifis ia rantai tangannya.

Tetapi, selama ada lembah intelektual, pojok ngopi independen dan rakyat kampung pelosok yang guyon, selama itu mimpi perbaikan negeri masih bisa diketik kembali. Biarlah demokrasi kita kini hanya hasilkan pejabat kembung perut; hasilkan elite segelintir yang kaya raya dan pesta pora. Biarkan saja. Kita wariskan semuanya saja.

***

0 comments:

Post a Comment