Cerpen Sore, TAK SEMPAT BICARA - Yudhie Haryono


Kisah ini berakhir di pertemuan pertama. Pada perpustakaan yang bergemuruh dalam ucapan selamat bertemu lagi. Bertemu dengan buku dan jurnal-jurnal. Mengejar guru besar.

Padahal, aku sudah lama menghindarimu. Bahkan menyebut nama saja tak mampu. Apalagi mengetiknya. Sialnya kau ada di sini. Di antara gosip dan cerca para pecinta negara. Di antara si kufur dan pasukan dungu. Saat menanti pagi. Menceritakan hal yang tak pasti.

Tentu mengagetkan bagiku. Sungguh tak mudah bagiku. Gelisah. Kibas. Berdegup keras. Tak berkata-kata. Senyumpun tidak tak terpikirkan. Rasanya tak ingin bernafas lagi. Pikirku aku menjumpai izrail kini. Saat tepat tegak berdiri di depanmu kini.

Di ujung umur. Di akhir malam menuju pagi yang gigil. Di sisa uang dompet tak seberapa. Di bening sore menuju malam pekat. Hanya ada sedikit petunjuk. Ya. Setitik harap. Saat engkau sedang paling menggairahkan untuk dihirup.

Lalu kita saling diam terpukau. Dan, mataku merasa malu; mulutku kaku; hatiku berhenti berdetak. Semakin dalam jiwa ini malu dan memalukan. Terutama pada keadaan. Juga pada guru-guru. Kadang juga takut yang tak bertaut. Tatkala harus berpapasan di tengah teman dan kawan, penggemar dan pencaci.

Di sore hari menuju petang. Di malam hari menuju pagi. Di sisa pagi menuju siang. Sering terlena. Bengong. Sedikit banyak kulminasi rasa cemas. Bercampur gegap dan rindu. Cinta yang tak bisa diketik. Tak dirumus matematika. Melampaui gurun dan kitab suci.

Di buku-buku terbaru kini ditulis bahwa, ciri negara pancasila adalah, elite berpenampilan jelata tetapi bermental kolonial; berbahasa marhen tetapi bergaya borjuis; surplus agama tetapi defisit ketuhanan; minus spiritualitas; tumbuh berjumbuh manusia tetapi minus kemanusiaan (yang adil dan beradab); menaikkan gaji dirinya dan menurunkan daya beli rakyatnya.

Sedang di jurnal-jurnal terbaru diketik dengan rapi kesimpulan bahwa, salah satu tanda datangnya hari kiyamat adalah berubahnya sikap mertua yang semeleh jadi serakah; bijak jadi bajak. Kebetulan aku sedang mengalami. Setres dan bingung, tapi takdir tak bisa dipilih.

Mendapati suara tegurmu rasa sakitnya menusuki jantung; meledakkan serpihan rasa; memporak-poranda hutan belantara; menghentikan hujan badai; melawan cinta yang ada di hati. Seperti menunggu perempuan yang sedang dipeluk pacarnya dan kita berharap berhenti karena di hati menaksirnya. Untuk ia yang didekap pasangannya sampai pagi dan kita tak dapat senyumnya.

Kisah ini kisah hari purnama dalam keberkahan jiwa. Saat mendung dan duduk di bawah pohon jambu. Menyongsong kelembaban zaman. Memancarkan realita masa depan. Selama duapuluh tahun, lima pikiran solusi berbangsa tertuliskan. Dari riset pustaka, lapangan, temu tokoh dan pelacakan artefak yang memutihkan rambut kepala.

Mulailah ketikan itu dari buku "Republik Yang Menunggu." Ini buku babon yang mengulas para penjajah baru. Jernih dan lugas menyingkap aktor, agensi dan proxy begundal. Selanjutnya buku "Mental Kolonial." Ini buku serius yang menjelaskan warisan mental yang tertradisi di negara pasca kemerdekaan; karakter agensi begundal yang meneruskan penjajahan.

Lalu ketikan buku "Membumikan Revolusi Mental." Ini buku dahsyat soal cara memerangi para begundal dan cara mengubah sejarah negeri koloni suatu bangsa. Selanjutnya ide dalam buku "Kitab Kedaulatan." Merupakan buku yang merangkum metoda anti tesa dari neoliberalisme. Buku yang menjelaskan apa yang sebaiknya dan apa yang seharusnya kita lakukan.

Terakhir adalah buku "Demi Pancasila Demi Indonesia." Tentu ini merupakan kongklusi dari seluruh diskursus yang terjadi selama duapuluh tahun kita bergelut memenangkan warga negara guna memakmurkan pancasila dan mengadilkan Indonesia. Lima yang menyejarah. Warisan bagi zaman genting.

Dan, upaya-upaya tahu diri tak selamanya berhasil. Menghindar juga bukan pilihan. Mengucap salam juga tak mungkin. Mati. Pabila ia muncul terus begini. Tanpa tanda. Datang tak dirasa auranya. Tanpa simbol. Sehingga tak sengaja. Tanpa pernah kita bisa bersama. Lalu kudengar lirih kata pergilah, menghilang sajalah lagi. Ke dalam buku yang berdebu. Di tumpukan almari perpus tua dan wangi dupa.

***

0 comments:

Post a Comment