Cerpen Jumat, WAHYU KEPRABON - Yudhie Haryono


Aku sudah melakukan dan berdoa sebisanya. Tak berhasil. Malah makin tak ada terang. Kini yang kubisa apa? Menulis puisi. Itulah nasibku tuan-tuan yth. Itu juga karena pemerintahan kita kini diisi tukang kibul dan pelacur serta didukung kaum munafikun.

Dari daerah di mana uang disembah dan pikiran dinistakan. Dari negeri di mana partai terkorup memenangkan pemilu. Aku menulis puisi cinta dan keruwetan-keruwetan hidup:
*
Siapakah yang kau bayangkan menemanimu saat ajal/yang setia menjagamu saat sakit/yang membuahimu dengan cinta/apakah ia yang jauh/yang nalarmu berharap-harap penuh seluruh/ataukah aku/lelaki tua yang setia/walau bau tanah tapi bersedia mencuci bajumu/mengantarmu ke pasar dan kampus/memenuhimu dengan cinta tak bertepi/melobi tuhan agar hujankan berkah/dan mengajakmu menjadi ibu negara/atau menulis buku/sebab alamatku ada di perpus-perpus penjuru negeri/

Jika ada tuhan yang disebut namanya membuatku gila ketuhanan dan rindu kematian, itulah tuhanku yang membisu dari doa-doaku setiap waktu. Engkaukah tuhanku yang menuli dari ratapku? Engkaukah tuhanku yang membuta dari segenap cintaku?

Tuhanku kini persis indonesiaku: bisu tuli buta dengan nasibku.

Dan, aku terbunuh cemburu bila ada orang yang sering kau sebut mencintaimu dengan cara dan postur yang diimpikanmu; juga yang engkau cintai tapi tak sempat menggendongmu karena beberapa alasan yang tak perlu.

Kalian membaca puisi di tebing-tebing kerinduan dan sawah-sawah yang tak lagi diairi bulir air saat kemarau menahun dengan judul serupa tapi tak sama. Tragis. Karena aku jadi tumbalNya.

***

0 comments:

Post a Comment