Cerpen, GEGAP KESEPIAN - Yudhie Haryono


Menunggu mati. Kuketik ode. Kekasihku. Di manapun kini kau berada. Mungkin jauh. Mungkin dekat. Dengarlah kesedihanku. Berbagi kehidupan adalah berbagi kematian. Mencintai kematian adalah citra keabadian. Lalu, apa yang kau persepsikan soal mati? Hal yang dijauhi sekaligus tak mungkin dihindari.

Bagi sebagian kita, hidup adalah pesta di bumi, yang ujungnya mati di bawah nisan. Bagi sebagian lain, hidup adalah festival di jagad raya, yang hilirnya syorga. Lalu, apa bagimu?

Mungkin, bagimu yang paling jauh adalah masa lalu. Sedang yang paling dekat adalah kematian. Begitu dekatnya, kamu tak tahu saat ia bertamu. Terlebih saat kamu sedang menghitung dan menyesali masa lalu. Sebab itulah tiap orang menghindari hampir semua jalan yang dekat dengan kematian. Mengutuk bunuh diri dan berlomba muda tak sudi tua. Mereka berharap hidup dalam keabadian, muda dan selalu tak sudi bercanda dengan maut.

Begitu gigantiknya maut, para khatib sering menggigau, "lakoni hidup dengan niat dan laku baik, agar bisa merasakan manisnya dua kali. Saat melakukan dan saat mengenangnya."

Memang sulit untuk terus bergembira dalam kehidupan bersama. Keluarga, misalnya. Tapi, hidup sendirian ternyata lebih sulit lagi. Sebab aku sudah mengalami. Maka, apa yang tidak kita lakukan pada hari ini, padahal ada kesempatan, akan menjadi penyesalan tiada guna di masa depan.

Sesal karena kita sering melewatkan kebahagiaan di depan mata terlewatkan. Akankah kita bisa tak melewatkannya kembali, sebongkah kebahagiaan yang bisa dibawa mati? Hanya tuhan, hantu dan hutan yang tahu.

Ya. Mati memang enigmatik. Alquran mengisahkannya dalam banyak tempat. Misalnya QS. Al-Baqarah: 28, Al-Munafiqun: 11, Al-Jumuah: 8, An-Nisa: 78, Ali-Imran: 154-185, Al-Anam: 93, An-Nahl: 28-32, Al-Mukmin: 11, Al-Zumar: 42, Al-Mulk: 1-2, Lukman: 34 dll. Begitu enigmatiknya, kusingkat sikapku agar engkau tahu.

Kasih, ketika masa lalu terlalu berat untuk kau lupakan. Saat masa depanmu terlalu menakutkan untuk kau gapai. Kuingin kau ingat satu hal: lihatlah cintaku untukmu. Aku yang tepat di sampingmu. Aku yang ada di sana menemanimu, menuntunmu, melindungimu sampai mentari bosan bersinar. Cintaku tak akan pernah bisa menemukan tangan yang sempurna untukmu, tapi ia selalu menemukan takdir yang bersedia memegang tanganmu, tak peduli apapun kondisimu.

Suara-suara mercon membuatku tuli. Tetapi, kebisuanmu membuatku mati. Terlebih, tak seayatpun menjelaskan nasibmu kini. Maka, malam ini kupamit menyusul kematian Ustad Darori.

***

0 comments:

Post a Comment