MEMBIBIT GEBERASI EMAS - Yudhie Haryono


Yang purba punah. Yang tua tak berprestasi. Yang kini, produsen utang dan korupsi. Jadi, kepada siapa kita berharap? Kepada mereka yang crank, menyempal, merealisasikan janji proklamasi dan mentradisikan konstitusi.

Generasi emas. Inilah generasi yang kita impikan. Mereka hadir dari masa depan karena kemampuannya memastikan kemandirian energi. Swasembada energi. Generasi atom. Generasi nuklir.

Tidak bisa dipungkiri lagi jika komunitas dan generasi nuklir akan membuat suatu negara semakin kuat. Baik di bidang pertahanan, militer, pangan maupun obat-obatan. Saat ini negara-negara besar seperti Amerika, China, Jerman, Inggris, India, Israel, Korut, Jepang, Prancis dan Rusia menjadi negara kuat karena memiliki senjata nuklir yang hebat. Mereka adalah negara-negara yang memiliki senjata nuklir sangat dahsyat bagi pengembangan dan kemajuan pembangunan warganya.

Negara kita punya potensi nuklir dan atom yang luar biyasa besar. Sejak lama kita memiliki dua lokasi eksplorasi uranium (bahan dasar nuklir) yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Keduanya terletak di Kalimantan Barat. Kita juga sudah memiliki pusat-pusat studi nuklir yang makin maju dan dikordinasi oleh lembaga atom (Batan) dengan unsur pengawas tenaga nuklir (Bapetan) yang serius.

Tetapi semua masih rencana dan rencana. Ini semua karena generasi hari ini sibuk menyesatkan diri. Hidup dalam kubang nista: pengemis utang, pelanggar HAM dan pesakitan KPK.

Lebih kacau lagi, generasi hari ini adalah mereka yang mengaku "islam." Yang marah kalau arab dinista, yang jengkel kalau simbol diremehkan, yang setress kalau ontanisme dikritik. Yang tidak punya logika dalam beragama: menyembah batu dan kertas.

Mereka lupa bahwa, jika islam adalah pohon (sajaroh), maka quran adalah ranting, dan puasa (ibadah ritual lainnya) hanya daunnya. Barangsiapa merasa sudah tau bahkan berislam hanya dengan membaca quran dan ibadah ritual adalah laksana tahu ranting dan daun dari keseluruhan pohon. Sungguh kecil sekali pengetahuannya.

Hal ini karena dalam keseluruhan pohon itu ada akar (pra-sejarah), batang (sejarah) dan kematian plus regenerasi pohon (pasca-sejarah). Pohon (sajaroh) itu tumbuh dan berkembang. Tidak sekali jadi. Tida langsung sempurna. Ia bertambah dan berkurang menyesuaikan zaman. Masing-masing zaman itu penting, tapi tidak ada yang paling penting sebab semua menjadi resiprokal kritis membentuk seluruh kesatuan pohon tersebut. Dan, pohon-pohon anakan berikutnya.

Kalian yang suka yakin bahwa membaca; menghapal; melombakan lafal Alquran, memelihara jenggot dan berjilbab adalah "islam," sesungguhnya sedang mengkerdilkannya: jahat dan jahiliyah. Kalian yang suka pede bahwa cungkring dan hitam kening adalah "islam," sesungguhnya sedang mengarabkannya: klanis dan romantis. Bahkan kalian yang berujar balik ke Alquran dan sunnah maupun balik ke kitab kuning, sesungguhnya sedang bunuh diri: mati sebelum mati; di neraka sebelum waktunya.

Stop. Mari sadar. Sebab, sungguh "islam" jauh lebih luas dan dahsyat dari pengetahuan kalian yang picik dan sempit. Bahkan ketika seluruh tanaman dijadikan pena serta seluruh air lautan dijadikan tinta, keduanya tak sanggup menghabiskan sejarah islam: ilahiyah-insaniyah-alamiyah (thea-antro-eco centris).

Kini, mumpung masih ada waktu, mari membaca dan meluaskan bacaan. Bukan ikut-ikutan menyesatkan manusia dengan paham pinggiran dan tafsir kejumudan laksana habib-habib sorbanis dan dai-dai selebritis. Dus, jadilah umat atomis. Jadilah kaum nukliris.

Satu umat dan kaum yang punya tekhnologi dahsyat, meraksasa dan gigantik karena akan memanusiakan manusia dan mewibawakan negara dan warganya dalam percaturan dunia.

Ingatlah bahwa, "umat kerdil bertengkar fikih. Umat umum bertengkar syariah. Tetapi, umat cerdas menemukan solusi dari problem manusia pada umumnya."

Inilah umat yang sesungguhnya dikreasikan Lekmad ribuan tahun lalu demi tegaknya aturan (al-din), negara (al-daulah), peradaban (tamaddun) dan kota (madinah). Tanpa itu, kita harus malu mengaku islam.

***

0 comments:

Post a Comment