SJAHRIR DAN KOLONIALISME - Yudhie Haryono



Tak ada kejahatan terbesar di dunia ini selain penjajahan (kolonialisme). Dan, tak ada kemuliaan yang lebih mulia selain jihad melawannya. Sebab, mereka mewariskan kerusakan maha dahsyat di semua lini rakyat. Makanya, ia harus dihapus dari muka bumi.

Dari penjajah, kita warisi mental kolonial, kota kolonial, ekopol kolonial, kurikulum kolonial, tentara dan pemerintahan kolonial bahkan agama kolonial.

Motif kolonial adalah kapital. Wataknya keserakahan. Mottonya: aku menjajah maka aku ada. Dus, kolonialisme adalah perluasan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, guna mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja dan pasar (konsumen).

Tentu saja, istilah ini menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.

Di Indonesia, kolonialis purba adalah lima sekawan: VOC, Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang. Sedang kolonialis modern adalah lima begundal: IMF, WB, USA, China dan WTO.

Kesepuluh kolonialis itu bersekutu dengan lembaga dan agensi lokal: kemenkeu, bapenas, BI, kampus (UI-FE) dan (elite) TNI-Polri.

Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi.

Mereka menunjuk ke bekas koloni seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses post-kolonialisme.

Andre Gunder Frank, Hatta, Pramoedya, Musso, Syahrir dan Rizal Ramli berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya adalah pemindahan kekayaan dari negara/kawasan yang dikolonisasi ke negara pengkolonisasi dengan tugas utama menghambat kesuksesan pengembangan ekopolsusbudhankam.

Franz Fanon, Gayatri, Sukarno, Tan Malaka dan Yudi Haryono berpendapat bahwa kolonialisme merusak mental, nalar, cita-cita, tradisi, politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi. Anehnya ia selalu datang tanpa diundang, menghapus proklamasi, menghancurkan konstitusi, menawarkan racun hidup dan membanggakan kejumudan moral.

Dus, bagi Sjahrir, "kolonialisme tak pernah berhenti apalagi mati. Ia bagaikan penyakit turunan yang diwariskan kepada generasi berkutnya dengan sel-sel lebih canggih dan serakah. Ia dipraktekkan di tiap zaman dengan disangga nafsu "keserakahan angkara murka."

Yang selalu ada hanyalah pertarungan hidup mati untuk memperebutkan kekuasaan dan keuntungan, menjadi penguasa tunggal atas pasar dunia. Mereka bertarung guna menyatukan seluruh kekuasaan ke dalam satu tangan. Mereka menuhankan hidup dan menghidupkan tuhan dengan kerkusannya."

"Perjuangan kita kini tak lain adalah perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa. Tetapi, kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia dewasa," tegas Syahrir.

Baginya, kekuatan jiwa pada gilirannya akan menemukan jatidiri. Akan tetapi, itu dapat terjadi jika bangsa mengkreasi kebebasan. Tentunya, kebebasan itu dipetik dari kemerdekaan yang hakiki. Bebas untuk menentukan haluan; ke mana bangsa ini akan berjalan tanpa dikte dan kendali asing.

"Never ending colonialism" adalah ungkapan dan kenyataan. Tentang porsi menelisik keadaan. Bahwa penjajahan tak akan pudar seiring zaman. Wujud; sifat dan karakteristik yang diwariskannya yang malik rupa. Metamorfosa. Beralih bentuk tapi motifnya sama.

Sebagai "bekas" tanah jajahan, Indonesia tak akan mudah menepikan sifat dan karakter yang terlanjur mengendap dalam sanubari. Sedikit banyaknya,  sifat yang menggambarkan betapa lemahnya dalam interaksi. 

Kini, kolonialisme telah menjelma menjadi kekuatan yang sukar untuk ditaklukan. Metamorfosis sempurna yang gagal kita analisa. Bahkan, dalam kehidupan bernegara, kita sebagai bangsa nyaris tak dapat mencandra apa dan bagaimana wujud kolonialisme itu. 

Pada akhirnya, situasi itu menambah gelap-pekatnya jalan. Saat ini dan masa-masa yang akan datang. Tentu, bagi Sjahrir, negara postkolonial akan selalu menghadapi dua perang besar pasca proklamasi: currency war dan perang kurs. Dua perang ini daya rusakannya lebih parah dan sulit dimenangkan. Kerusakan utama di sektor perekonomian, sektor keuangan, investasi, industri dan perdagangan luar negeri.

Jika gagal memenangkan dua perang tersebut, maka akibatnya PHK meningkat pesat yang berakibat tumbuhnya pengangguran, pertumbuhan ekonomi anjlog sehingga kemiskinan massal segera tercipta. Bagaimana mengatasinya? Lebih rumit. Mengapa?

Karena kini kolonialisme itu dilakukan oleh sesama kulit terjajah dan oleh mereka yang lupa diri serta bagi mereka yang serakah.

***

0 comments:

Post a Comment