KEDAULATAN POLITIK - Yudhie Haryono



Mari bertanya, "mengapa setelah berpuluh tahun kita berganti-ganti sistem politik, cita-cita proklamasi tak terengkuh? Dan, tugas-tugas merealisasikan konstitusi justru makin jauh?"

Yang terjadi justru kita tidak mampu membuat kehidupan politik hari ini membaik dari masa lalu dan saat bersamaan tak punya rencana dahsyat guna menghadapi masa depan.

Yang riil, kita tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu, juga tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini sehingga rencana masa depan hanyalah spekulasi, mimpi dan ilusi.

Yang berjalan kini adalah mengulang struktur dan arsitektur politik di zaman penjajahan. Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum juga mencontoh tatanan penjajahan. Kalau ada sedikit tambahan, itu juga hasil mencontek dari bangsa lain. Bukan produk bangsa sendiri yang digali dari perut bumi nusantara.

Akibatnya, rakyat, politik, ekonomi dan hukum hadir tanpa kedaulatan; tanpa kemandirian; tanpa kelaziman bangsa yang merdeka. Yang berdaulat hanya oligarki dan elite perampok. Yang eksis hanya ilmuwan penyembah tahayul pembangunan dan proxy penjarah.

Politik kita masih menghasilkan peradaban yang dangkal; tata hidup pinggiran dan tata amoral yang stabil. Tentu saja, hidup berbangsa bernegara itu perlu politik. Tetapi tak sembarang politik.

Ia harus politik yang tidak menjarah kemerdekaan iman, kehidupan prifat dan akal sehat. Dus, politik yang mendaulatkan rakyat; mendaulatkan negara dan bangsa. Politik yang menjamin kewajaran hidup bersama di dunia; politik yang menjaga daulat hukum alam; memastikan daulat hukum rakyat; mentradisikan daulat hukum akal sehat.

Inilah daulat politik. Inilah daulat pikiran politik Indonesia yang dalam praksisnya berbentuk "majelis" permusyawaratan rakyat (MPR). Ini merupakan konsep bernegara dalam pencarian tiang-tiangnya, setelah nilai, id, dasar dan cita-citanya ditemukan dan menjadi konsensus bersama.

Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan.

Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.

MPR kemudian diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).

Karenanya, dalam daulat politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal--dpr dan dpd) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.

Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.

Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.

Trikameral ini merupakan metoda yang memastikan tak adanya dominasi satu kelas atau kapital terhadap lainnya dan merupakan kongklusi dari lima kamar dalam pancasila: 1)Kamar spiritual: pemuka agama dan kepercayaan; 2)Kamar kebijaksanaan: para raja, ratu, sultan dan pemuka adat. 3)Kamar pasar: para politisi parpol. 4)Kamar persatuan: para tni-polri. 5)Kamar teritorial: para akademisi dan profesi.

Daulat politik ini akan menjadi kunci bagi daulat yang lain. Sebab, jika ideologi adalah ontologi bernegara maka politik merupakan epistemnya. Yang lain adalah aksiologinya.

***

0 comments:

Post a Comment