BANJIR MENTAL KOLONIAL - Yudhie Haryono


Apa yang tidak kita warisi dari kolonialisme? Rasanya tak ada. Sebab warisannya super lengkap. Agama (sumber nilai) kita, praktis agama kolonial. Sekolahan (sumber pengetahuan) kita, praktis sekolah kolonial. Tentara (sumber agensi pertahanan) kita, praktis tentara kolonial. Birokrasi (sumber manajemen) kita, praktis birokrasi kolonial. Istana dan kota (sumber kuasa dan seni) kita, praktis istana dan kota kolonial. Inlanderitas dan ambtenaar (sumber mental dan karakter) kita, praktis inlanderitas kolonial. 

APA YANG BUKAN KOLONIAL, KAWAN? Bahkan cara makan, bercinta, berdemokrasi, berekonomi dan berpakaian kitapun warisan kolonial. Apa lagi yang belum disebutkan? 

Dalam konteks mental, kami melakukan riset yang hasilnya mengejutkan. Selama setahun, kami coba mewawancarai tiga profesi (pns, sopir plus mahasiswa/i) dan masing-masing profesi diwakili oleh 200 responden. Pertanyaan dan wawancara seputar mental dan tabiat warganegara Indonesia. Saat ditanya apa sifat, sikap dan tabiat yang paling dikenal dari warga hari ini? Mereka menjawab: menipu, melupa dan menyogok. Ketika ditanya bagaimana sikap mereka terhadap tiga mental itu? Mereka menjawab: memaklumi, memaafkan dan membiarkan. Lalu, saat ditanya apa respon mereka terhadap orang yang bermental sebaliknya? Mereka menjawab bahwa orang-orang tersebut: naif, culun dan sok suci. Saat disodorkan pertanyaan apakah mereka butuh manusia yang sidik, amanah, tablig dan fatanah? Mereka menjawab: sudah tak ada, tak butuh dan terserah. Terakhir ketika ditanyakan bagaimana cara membuat masyarakat kembali berpegang teguh pada idealisme? Mereka menjawab: tidak mungkin, dengan uang dan tunggu takdir. Singkatnya, mereka yang diwawancara menyimpulkan bahwa kini adalah era kebolak-balik. Yang salah jadi benar dan sebaliknya. Yang idealis jadi oportunis dan sebaliknya. Yang berjuang, kalah dan sebaliknya. 

Kini, kerakyatan dan keindonesiaan (demokrasi politik dan ekonomi) boleh dipimpin oleh para penipu; boleh diisi oleh orang lugu; boleh dikerjakan oleh para pelupa; boleh dikembangkan oleh para penyogok. Merekalah kini yang menjadikan Indonesia ajang avonturisme kepentingan perseorangan dan keluarga. Merekalah kini yang sedang mengenyangkan perutnya sendiri. Mereka melupakan konsensus kepemimpinan oleh hikmah (kearifan yang mencerahkan, memartabatkan dan membebaskan). Mereka mencampakkan mental kebijaksanaan (kepantasan, kenalaran, keadilan dan pertanggungjawaban). Mereka menghancurkan karakter permusyawaratan dan perwakilan (keseriusan, keterwakilan, keterpilihan dan keseluruhan). 

Dengan hancurnya mental dan karakter hikmah-kebijaksanaan, maka seluruh arsitektur mental demokrasi ekopol Pancasila kini, kita makin menjauh dari cita-cita berbangsa dan bernegara Indonesia. Inilah arsitektur mental kolonial yang sedang dijalankan kita semua. Tentu saja tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya dan falsafah bangsa kita. Akibatnya kita paria dan panen ketidakadilan di mana-mana. Jumbuh penderitaan rakyat yang tak tahu kapan selesainya. 

Kini saatnya mengumpulkan sepuluh senjata, seratus peluru. Satu senjata dan sepuluh peluru digunakan untuk membunuh musuh asing-aseng. Yang sembilan senjata dan sembilanpuluh peluru kita gunakan untuk membunuh pengkhianat lokal. Yaitu mereka yang mentradisikan mental kolonial di segala tempat dan waktu. Jika masih kurang, mari kita rakit nuklir saja. 
 ***

0 comments:

Post a Comment