KEDAULATAN BUDAYA - Yudhie Haryono


Kedaulatan dan kebudayaan itu seperti pohon dengan akar. Jika akarnya kuat, pohon tak mudah tumbang. Tetapi, sesi terpenting dari daulat kebudayaan adalah potret lengkap soal budaya kota dan desa: refleksi dan proyeksinya.

Sebab, refleksinya adalah rekaman penanda dan petanda seperti patung-patung, rumah, bentuk dan fungsi bangunan, nama jalan, kuliner, baju, foto.

Ada juga potret aktivitas seremonial riwayat mereka seperti, nyanyian, lukisan, jenis tarian, fotografi, karya sastra, serta tradisi lisan.

Proyeksinya, kita berhadapan dengan desakralisasi (profanitas) di seluruh hal ikhwal berupa hancurnya sistem sosial warga negara, kecemasan, konflik sosial, kemiskinan dan ketimpangan. Kita juga terjangkiti warisan romantisisme bin purbakalaisme yang begitu kuat kurikulumnya di pelbagai tempat dan waktu.

Karena itu kita harus bahas sejarahnya dan tata kelola serta cara mengantisipasi kehancurannya. Roadmapnya: 1)Pendataan ulang, 2)Pemetaan, 3)Penguatan, 4)Peremajaan, 5)Pengembangan, 6)Pentradisian, 7)Pemoderenan: e-culture and e-comm.

Dengan demikian, kerja raksasa dalam budaya nasional ini adalah merekonstruksi perubahan dan dinamika tempat tinggal (kota dan desa) di Indonesia dari era prakolonial hingga postkolonial dengan sumber-sumber yang baru, jenius, semangat dan sikap "raya."

Tanpa pemetaan yang adekuat dan terintegrasi dalam manajemen informasi sistem (MIS), tanpa reliteralisasi, tanpa rekurikulumisasi, tanpa kehadiran kesadaran mix culture, maka kedaulatan budaya kita akan melemah, bahkan hancur.

Agar tak hancur, agar ia menjadi pondasi kebangsaan, ia harus diarusutamakan. Dus, pelestarian budaya Indonesia dan pengembangannya demi kedaulatan plus peradaban yang raya pastilah merupakan amanat yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Ia juga komitmen kita untuk menjadi bagian dari warga semesta.

Memastikan kedaulatan dalam budaya tentu saja tak mudah. Sebab, kita mewarisi tiga hal: 1)Mental kolonial: inlander, instan dan mendendam. 2)Nalar kolonial: fasis, feodalis dan fundamentalis. 3)Konstitusi kolonial: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris.

Ketiga warisan itu menciptakan 5K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, ketimpangan. Kerananya kita membutuhkan solusi, jalan, obat dan subjek. Itu hanya dapat dikerjakan oleh manusia pancasila berideologi pancasila. Menciptakan indonesia raya, nusantara dan peradaban atlantik.

Apa musuhnya? Adalah ide dan praktek fundamentalisme. Di negeri-negeri liberal, musuhnya fundamentalisme agama. Di negeri-negeri postkolonial, musuhnya fundamentalisme pasar.

Di indonesia, dua fundamentalisme itu (agama dan pasar) bersetubuh. Persetubuhan dua fundamentalisme ini melahirkan teror yang membuat perdamaian hilang digantikan kebencian, kejahiliyahan dan peperangan.

Fundamentalisme agama menciptakan identitas baru yang bineris:  "aku" versus "kamu" atau "kita" versus "mereka." Fundamentalisme agama berkeyakinan bahwa agamanya (tuhannya) di atas segalanya: segala-galanya.

Fundamentalisme pasar menciptakan identitas baru yang brutal-dominatif: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa pasar di atas segalanya: segala-galanya.

Globalisasi percaya bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi. Pada praktiknya, paham ini menjelma menjadi neoliberalisasi di mana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang mendikte mayoritas orang dan negara lain.

Pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan alat untuk memerdekakan orang, menjelma menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai kue politik dan ekonomi bagi dirinya saja.

Dua fundamentalisme ini melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru, memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran teror dan chaos.

Kita marah atas tumbuh dan berkembangnya dua fundamentalisme tersebut, tetapi itu tidak cukup. Kita harus jenius. Saat Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, kita harus melakukan pekerjaan jauh lebih besar dari sekadar marah dan pasrah.

Dus, kita harus menikam mati tepat di jantungnya, dua jenis fundamentalisme yang sedang menguat sebagai kanker peradaban.

***

0 comments:

Post a Comment