KEDAULATAN EKONOMI - Yudhie Haryono



Kita mulai dengan hipotesa para pendiri Indonesia, bahwa "tanpa kedaulatan ekonomi, tidak ada gunanya kemerdekaan." Apa maksud dari hipotesa tersebut dan bagaimana merealisasikan kedaulatan ekonomi? Mari kira runut pelan-pelan.

5 tahun terakhir, kondisi ekonomi kita secara riil makin buruk. Daya bayar sangat rendah. Sayangnya, kebijakan ekonomi yang diambil salah arah. Kebijakan yang diambil jauh dari kepentingan rakyat banyak: bahkan sangat tidak profesional. Dan, para pengambil kebijakan itu tak berganti: orang dan metodanya masih sama. Wajar kalau hasilnya biasa saja. Memburukpun mereka tak mau tau. Sebab citra dunia telah disematinya.

Jadi, bagaimana merdeka dan berdaulat? Tentu dengan cara revolusi dan berproduksi. Dus, kita tidak bisa berbicara soal kedaulatan ekonomi bila kita tidak memproduksi barang-barang yang kita konsumsi.

Itu artinya, negara jasa yang berujung menjadi negara konsumen menyalahi makna kemerdekaan dan kedaulatan. Itu artinya, saat barang-barang yang kita konsumsi terus menerus didatangkan dari luar negeri (impor), berarti kita telah mengkhianati cita-cita para pendiri Indonesia: berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan.

Sebenarnya, kita memiliki kemampuan untuk memproduksi barang-barang yang kita konsumsi seperti beras, kopi, gula, tepung dan jagung. Sayangnya, mentalitas pejabat kita yang menjadi rente dan brooker mengakibatkan kebutuhan basis yang ada, dikalahkan bahkan dibunuh via impor.

Itulah jalan anti kedaulatan. Jalan ekonom neolib yang merusak istana Indonesia. Mereka terlalu manja dan tidak punya temuan apalagi terobosan berbasis pancasila. Sehingga masih bermodal utang dan gadai yang sudah sangat merusak republik Indonesia.

Beberapa gelintir ekonom elite terlalu mencintai kedudukannya sampai tidak tahu fungsinya untuk memanusiakan manusia; membahagiakan sesama; mengadilkan kehidupan di dunia. Padahal, kedudukan dan jabatan tanpa keluhuran adalah warisan dan kurikulum yang haram diteruskan. Sepertinya mereka kini lugu, kemarin dungu.

Hari ini, mereka yang berekonomi bertaruh bahwa uang dan kapital adalah aset terbesar di seluruh dunia. Ia mengalahkan gelar, cinta, agama, kekuasaan dan pengaruh. Ia menjadi ciptaan manusia yang memperbudak penciptanya.

Saatnya, ilmu ekonomi harus diartikan sebagai pikiran terjauh, terobosan terkini, solusi bernegara, cara-cara terjenius menunaikan janji proklamasi dan merealisasikan konstitusi.

Terlebih, berekonomi pada akhirnya butuh orientasi yang jelas. Yaitu ekonomi yang berdaulat. Hanya itu yang bisa secara jelas mengungkapkan tujuan-tujuan kegiatannya, mencapainya, dan membuat rakyat bersemamgat dalam satu front.

Singkatnya, kita harus mulai dari kemerdekaan pikiran dan tindakan. Kedua, menerjemahkan pancasila dan konstitusi ekonomi. Ketiga, konsisten membela yang miskin, terpinggirkan, kalah, cacat dan kekurangan.

Ingat. Manusia merdeka diukur berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kapasitas ini pula yang melahirkan konsep tentang kedaulatan, sebuah nikmat yang melekat dalam kehidupan. Kedaulatan ditandai dengan hak otonominya, bahkan disebut lebih besar dari nikmat hidup itu sendiri. Dulu, para pejuang kemerdekaan mengaktualisasikan pemahaman ini dalam pekikan perjuangan 'Merdeka atau Mati'.

Apalah arti hidup jika kedaulatan kita sebagai manusia terrenggut. Apa guna hidup berbangsa, jika tetap terjajah. Betapa besarnya arti kedaulatan, sampai-sampai kematian dianggap lebih bermakna. Hiduplah mulia atau mati syahid, yakni hidup dengan pengoptimalan berpikir jenius: mandiri, berdaulat, modern dan menzaman.

Dengan akal berdaulat, lahir ucapan berdaulat. Dengan ucapan berdaulat, lahir tulisan bermartabat. Dengan tulisan bermartabat, lahir tindakan dan aksi konstitusional, produktif dan menzaman untuk memanusiakan manusia. Merdeka.

***

0 comments:

Post a Comment