SEKEDAR GELAK TAWA SAJA - Yudhie Haryono

Petarung takkan pernah berhenti untuk berusaha menang. Mestinya begitu. Tetapi, apakah besok dan seterusnya kita akan lihat petarung yang tangguh dan pejuang yang gigih? Sejarah akan memperlihatkannya!

Tetapi, beberapa kejadian telah membuktikan zaman besar ini hanya melahirkan pecundang; kelas pencari nasi bungkus; ramai festival; kerumunan dan bangga masuk koran plus tivi sambil selfie. Itu saja. Tak lebih.

Macet sebentar. Teriak sebentar. Bersorban sebentar. Marah sebentar. Dan, tentu saja itu bukan pasukan. Yup. Bukan pasukan lengkap yang sadar sejarah bahwa mereka lama sekali telah dijajah. Bukan pasukan yang menyiapkan road map canggih agar kita merdeka, mandiri, modern plus martabatif. Bukan revolusi. Yup. Bukan revolusi pancasila, tepatnya!

Jadi, karena belum revolusi dan baru cari sebungkus nasi, wakafku belum semua. Karena baru kerumunan dan lucu-lucuan, sumbanganku baru doa dan ketikan!

Mari lihat kerumunan tanpa gagasan. Selamat berunjuk rasa. Itu saja tokh niatnya?

Problem elite yang defisit mulia. Kemuliaan. Itulah mestinya cita-cita terakhir sebagai manusia. Martabat. Kemartabatan. Itulah cita-cita terakhir sebagai negara-bangsa. Tanpa kemuliaan dan kemartabatan, manusia dan negara tak ada artinya.

Karena itu, sebagai negara postkolonial, musuh utama kita sesungguhnya kemiskinan dan ketidakadilan. Itu warisan penjajah lama dan baru. Sedang yang kita tuju adalah kesejahteraan dan keadilan. Dengan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, gagasan mulia dan martabatif menjadi mudah digenggam dan ditradisikan.

Tetapi, di situ pangkal problemanya. Muhammad Yunus, pendiri Gramen Bank dan peraih nobel perdamaian menulis subtansi masalah tersebut dengan sangat baik di bukunya.

Menurutnya, “dalam kenyataannya, mesin ekonomi dirancang begitu rupa, yaitu penghasilan orang lain dapat membuat segelintir orang menjadi lebih kaya setiap hari, sementara pada saat yang sama membuat sejumlah besar orang akan menjadi gembel.

Karenanya, jantung dari mesin ekonomi yaitu kegagalannya sebagai ilmu sosial. Sebagai contoh, perbankan dan kredit sesungguhnya hanya alat yang netral. Tetapi, orang miskin tetap miskin, sebab mereka tidak dapat mempertahankan hasil kerjanya di tengah ilmu kredit yang tidak netral lagi. Sebab, mereka bekerja untuk keuntungan orang yang mengontrol modal. Sedangkan orang miskin tidak memiliki kontrol terhadap modal."

Dus, kini tanpa elite yang jernih, kita makin jauh dari janji proklamasi. Dengan elite yang lugu, lucu, naif dan bervisi blusukan, cita-cita bernegara makin jauh digapai.

***

0 comments:

Post a Comment