REVOLUSI PANCASILA - Yudhie Haryono

Dunia tak seramah dan semudah dalam buku.

ASTI bertanya padaku soal itu. Kujawab, ia disebut trias revolusi: mental, nalar dan konstitusional. Kulminasi dari menanam, memanen dan menabung. Ini harus dikerjakan bersama secara simultan, berkelanjutan dan tertradisikan.

Sebab, sebagai negara postkolonial yang telah milyaran hari dirampok, kita mewarisi tiga hal: 

  1. Mental kolonial: inlander, instan dan mendendam. 
  2. Nalar kolonial: fasis, feodalis dan fundamentalis. 
  3. Konstitusi kolonial: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris.

Ketiga warisan itu menciptakan 5K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, ketimpangan. Kerananya kita membutuhkan solusi, jalan, obat dan subjek. Itu hanya dapat dikerjakan oleh manusia pancasila berideologi pancasila. Menciptakan Indonesia Raya, Nusantara dan peradaban Atlantik.

Apa musuhnya? Adalah ide dan praktek fundamentalisme. Di negeri-negeri liberal, musuhnya fundamentalisme agama. Di negeri-negeri postkolonial, musuhnya fundamentalisme pasar.

Di indonesia, dua fundamentalisme itu bersetubuh. Persetubuhan dua fundamentalisme ini melahirkan teror yang membuat perdamaian hilang digantikan kebencian, kejahiliyahan dan peperangan.

Fundamentalisme agama menciptakan identitas baru yang bineris:  "aku" versus "kamu" atau "kita" versus "mereka." Fundamentalisme agama berkeyakinan bahwa agamanya (tuhannya) di atas segalanya: segala-galanya.

Fundamentalisme pasar menciptakan identitas baru yang brutal-dominatif: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa pasar di atas segalanya: segala-galanya.

Globalisasi percaya bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi. Pada praktiknya, paham ini menjelma menjadi neoliberalisasi di mana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang mendikte mayoritas orang dan negara lain.

Pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan alat untuk memerdekakan orang, menjelma menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai kue politik dan ekonomi bagi dirinya saja.

Dua fundamentalisme ini melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru, memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran teror dan chaos.

Kita marah atas tumbuh dan berkembangnya dua fundamentalisme tersebut, tetapi itu tidak cukup. Kita harus jenius.

Saat Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, kita harus melakukan pekerjaan jauh lebih besar dari sekadar marah dan pasrah. Kita harus menikam mati tepat di jantungnya, dua jenis fundamentalisme yang sedang menguat sebagai kanker peradaban.

***

0 comments:

Post a Comment