Cerpen Selasa "BIDADARI RAKUS" - Yudhie Haryono

1 Tahun lalu: Nalar hatiku adalah kematian.

10 Tahun lalu: Masa depanku adalah kejumudan. 100 Tahun lalu: Hidupku adalah pembrontakan. 1000 Tahun lalu: Bintangku kesepian dan kesendirian.

Semua yang ada di kita cuma titipan Tuhan. Kita lahir telanjang. Mati sendiri berkain kafan. Apa yang dibanggakan dari titipan? Apa yang ditakuti dari kemiskinan?

Aku pernah miskin. Aku pernah kaya. Biasa saja. Tak ada yang membuatku takut, malu, bangga apalagi jumawa.

Tetapi kekasihku, dosa itu manis. Hukumannya yang pahit. Karena itulah para pejabat kita suka berbuat dosa sambil mengelak dari hukumannya. Tentu saja karena mereka tahu tak ada hakim kebal sogokan; tak ada polisi benci gratifikasi; tak ada pengacara anti suap. Semua lembaga dan agensi hukum kita adalah kakek-neneknya kejahatan purba.

Sambil menangis karena rindu, kubertanya, "adakah sejarah yang lebih getir dari manusia yang ditipu saudaranya dan dipaksa bayar pajak mahal oleh negaranya serta dirampok semua usaha oleh teman-temannya plus dikhianati oleh kekasihnya?"

Mestinya tsunami kemarin menjadi berkah yang menguatkan mental, menabahkan jiwa, menjujurkan sikap, menguletkan tindakan, memastikan rendah hati dan memosisikan diri siap menghadapi takdir yang lebih dahsyat. Bukan sebaliknya.

Membuatmu minder dan menipu diri; takut selain pada Tuhan; hidup dalam kejahiliyahan. Agama apa yang kau peluk sebenarnya? Bencana apa yang meluluhlantakkan iman dan nalarmu sebenarnya? Jangan-jangan kau diperkosa ramai-ramai oleh sundelgrowong, tetangga, pemabuk dan kyai sekaligus?

Di hari sedihku (karena engkau melupakanku), tak ada doa yang kupanjatkan selain memohon pada Tuhan dan semesta agar menguatkanmu, memeluk dan merawatmu dalam setiap kondisi, menjagamu untuk idealis di jalan-Nya, mengangkat derajatmu lebih tinggi di sisi-Nya.

Selamat bekerja, jiwaku; kasihku; cintaku. Selamat bergabung di club dunia yang berusaha bergotong royong menaklukan rintangan dan tantangan kehidupan.

Kini kita lihat adanya hanya perang di medsos (pencitraan); Politik tanpa keputusan; Melanjutkan teater besar di republik akibat (pidato basa-basi); Bersahutan dalam fitnah. Empat perilaku politik itulah yang berulang di republik. Perilaku ananiyah dan menjijikan. Sebab tak ada hasil subtantif yang dihasilkan buat warga negara.

Dalam pendekatan teori kekuasaan politik, aksiologi di atas disebut "berkuasa tanpa kekuasaan dan kekuasaan tanpa pengetahuan." Ini tentu kesalahan kita semua: pemilih pemimpin dungu dan pemimpin lucu yang culun. Keduanya mutualisma dan resiprokal.

Kekuasaan sesungguhnya merupakan kewenangan yang dimiliki seseorang karena suatu hal (politik, ekonomi, moral, warisan dll). Kekuasaan juga kemampuan seseorang untuk memengaruhi tingkah laku orang lain sesuai dengan keinginan dari pelaku; memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi.

Tetapi, kekuasaan tanpa putusan yang memihak publik, kaum lemah dan tertindas sesungguhnya bukan kekuasaan dalam arti sesungguhnya. Pseudo-kuasa. Wayang. Petugas. Objek. Budak.

Itulah yang kini tinggal di istana hasil demokrasi liberal yang gigantik dan guyon yang luarbiyasa. Maka, kalau kalian mau bernegoisasi dengan penguasa, cek dulu siapa penguasa sesungguhnya.

Kalian tahu? Di negara ini, Tuhan disembah saat Ia sedang menjauhi (kekeringan sebagai misal) dan diingkari saat Ia sedang mendekati (multikulturalis sebagai misal). Apakah ini karena jalan-Nya sulit dipahami atau karena manusianya bengal?

Padahal. Manusia adalah Tuhan yang menyejarah. Tuhan adalah manusia yang mengabadi. Tuhan dan Manusia adalah sejarah dan keabadian.

Tetapi kini, saat semua kalah, tugas kaum neoliberalis hari ini adalah meyakinkan dan memastikan agar Indonesia fokus di sektor konsumsi. Jadi konsumen belaka. Bukan mandiri di sektor produksi, sektor modal (investasi), sektor transportasi, apalagi sektor finansial.

Tugas kaum konstitusionalis adalah sebaliknya. Tuan Jokowi, anda paham? Pasti tidak.

***

0 comments:

Post a Comment