Cerita Selasa, MENEMUKAN MATI DAN RINDU - Yudhie Haryono

AKSARA bertanya apa itu kerinduan kepada bunda yang sudah tiada? Dari pulau Swarnadwipa kuketik jawaban singkat. Rindu itu bagai danau Ranau. Berpupuh keindahan alam yang tersembunyi di pegunungan Bukit Barisan, di Sumatera jauh di sini. 3 jam lebih perjalanan.

Bunda (Evie) adalah air danau yang bersih dan berlimpah. Tempat kita berwudu; tempat mengadu. Kau tahu Aksara? Dengan latar belakang gunung Seminung yang cantik, danau Ranu menciptakan pemandangan alam nan elok sekali, asri sepanjang hari.

Dalam catatan geografi, danau ini danau terbesar kedua di Sumatera, setelah danau Toba. Dengan luas 125 kilometer persegi, perairan danau ini membentang menyatukan dua provinsi. Sepertiga bagian masuk wilayah Lampung Barat. Dua pertiga bagian masuk wilayah Ogan Komering Ulu Selatan.

Luas bukan? Danau Ranau dikelilingi oleh sawah-sawah dan kebun kopi yang subur. Untuk bermain di tepi danau, kita bisa masuk melewati kompleks Villa Pusri. Di sini, kita bisa duduk-duduk di dermaga sambil memandangi gunung Seminung yang indah. Gunung ini akan mengingatkanmu dengan Bintang, Nayu dan Syailendta, dua adikmu yang jelita dan satu adikmu yang gagah perkasa.

Tiap tahun, danau Ranau menjadi saksi kisah dan legenda masyarakat sekitarnya soal legenda Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Mereka berdua adalah dua jawara yang amat disegani oleh lawan-lawannya. Membaca kisah ini mengingatkanku pada Astika Wahyuaji, mamah baru kalian yang baik hati.

Dalam sejarahnya, gunung Seminung  merupakan gunung berapi yang sudah lama mati. Dengan bentuk kerucut dan ketinggian 1.880 meter, gunung ini mempercantik keindahan danau Ranau. Lerengnya yang subur dimanfaatkan penduduk Lampung dan Komering untuk menanam kopi, lada, sayuran, dan palawija. Inilah mula rempah yang melahirkan jalur rempah Sumatra.

Kini, ayahmu sudah tua. Sebentar lagi mati. Mohon maaf jika tak sempat menggendong kalian di sini. Satu angan yang tertunda karena badai krisis melanda.

Dari sini kuketik surat cinta buat kalian. Semesta menjaga kalian yang seperti nyanyian dalam hatiku. Seperti panas bumi. Yang memanggil terus rinduku pada kalian.

Ya. Kalian seperti udara yang kuhela dalam-dalam. Kalian selalu ada dan tersenyum samar.

Seribu tahun lalu dan sejuta tahun datang, hanya diri kalian yang bisa membuatku tenang. Siyap mati menjelang. Tanpa kalian, aku gedebok bosok. Aku hilang dan sepi plus merintih. Sedih tak sudah-sudah.

***

0 comments:

Post a Comment