ALEKSIS DAN KISAH LAINNYA - Yudhie Haryono

Indonesia Raya adalah engkau. Kekasihku sekaligus mawarku. Putri dari segala penjuru. Kalau saja kita bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam nusantara itu, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul.

Duri-durinya adalah para pengkhianat konstitusi dan warganegara. Dengan membunuh duri-duri itu, kita akan terpacu untuk membuat mawar merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Sangat indah dan sedap dinikmati mata hati.

Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Sebab, kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri kita tentang mawar-mawar itu dan mengabaikan dan menghilangkan duri-duri yang muncul di sekitarnya.

Indonesia. Engkau yang tak tahu berapa sisa umurnya. Yang tak tahu berapa hari, minggu, bulan dan tahun yang akan dihirupmu lagi dan lagi. Mestinya, untuk berjaga-jaga seandainya esok tak pernah datang dan hanya hari inilah yang kau punya, seperti dulu kau tak mengira banjir tsunami merenggut semua yang kau punya, inginkah kau mengatakan betapa kau sangat mencintaiku dan berharap kita takkan pernah saling lupa; saling pura-pura; saling hina dan saling menua.

Engkau tahu bahwa hari esok tak dijanjikan kepada siapapun, baik tua maupun muda, apalagi para manusia pilihan sepertiku. Dan, hari ini mungkin kesempatan terakhirmu untuk memeluk erat orang tersayangmu; yang membuatmu bermakna; yang membuat hadirmu di dunia ada manfaatnya.

Ini bisakah kau pahami dengan hatimu sebab esok dan nasib tak bisa dipastikan dengan ilmu pasti sekalipun walau ditanyakan ke semua guru kehidupan di gurun-gurun dan dibacakan semua kitab-kitab suci milik para agamawan kuno maupun baru di semua kolong jembatan.

Jika saja ini adalah detik terakhirmu di dunia, lalu apa yang akan kau lakukan, apa yang akan kau ketik, apa yang akan kau wasiatkan?

Ini pedih. Saat APBN habis dipakai buat beli nasi bungkus untuk vulusi dan ventara yang berjaga-jaga siaga satu tanpa revolusi. Tradisi yang harus direvolusi oleh kaum muda.

Tetapi, menunggu hadirnya kepemimpinan muda, mengingatkanku pada Raisa. Penyanyi baru yang menghentak dengan lagu "Kali Kedua." Cantik, lucu, seksi, bloon dan tanpa dosa. Kalian mau tahu lagunya? Ini syairnya:

Jika wanginmu saja bisa/Memindahkan duniaku/Maka cintamu pasti bisa/Mengubah jalan hidupku/Cukup sekali saja aku pernah merasa/Betapa menyiksa kehilanganmu/Kau tak terganti kau yang slalu kunanti/Takkan kulepas lagi/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Jika senyummu saja bisa/Mencuri detak jantungku/Maka pelukkan mu yang bisa/Menyapu seluruh hatiku/

Cukup sekali saja aku pernah merasa/Betapa menyiksa kehilanganmu/Kau tak terganti kau yang slalu kunanti/Takkan kulepas lagi/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Satukan hati, tanpa peduli/Kedua kali kita bersama lagi/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Sama Indahnya/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Sama Indahnya/Kini, kaum muda melihat Jokowi-Ahok berkuasa mirip cerita di bawah ini. Sebuah cerita faktual di keseharian alam Indonesia:

#Seorang isteri kehilangan beberapa helai celana dalamnya yang mahal. Dengan ngotot ia menuduh dan mengintimidasi pembantu yang mencurinya. Memelas, menangis dan bersumpah, pembantunya menyatakan bahwa dia tidak mengambilnya. Namun si ibu tetap ngotot dan mendesak.

Merasa kepepet dan putus asa, dia berkata: "Bu tolong panggilkan Bapak ke sini!" Sang isteri makin murka: "Apa urusannya dengan Bapak?" Mendengar ribut-ribut dan tangis, sang suami muncul.

"Ada apa?" tanya suami. Dengan nekad sang pembantu berkata: "Ibu kehilangan celana dalam. Saya sudah bersumpah tidak tahu apa-apa, tapi Ibu terus mendesak. Tolong Bapak bersedia jadi saksi. Bapak kan tahu kalau saya tak pernah memakai celana dalam."#

Singkatnya, antara teks dan konteks terlalu ruwet. Tidak nyambung. Ini dikarenakan tiga hal: 1)Warisan kekuasaan lama yang hancur-hancuran; 2)Ketidakmampuan mereka fokus menyelesaikannya; 3)Berkecambahnya pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama.

Akibatnya, negara gagal menghadirkan kebutuhan dasar warga (pangan, papan, pakaian, pekerjaan, sekolahan, kesehatan). Kemiskinan meningkat, pengangguran membuncah, ketimpangan menajam, kekacauan mentradisi, hukum lumpuh, utang negara menggunung, shadow economic (lendir, narkoba, judi) makin menggila.

Saat yang sama, kaum kaya berpesta pora tiada henti. Pancasila dan nilai-nilai luhur (agama dan kebijakan lokal) terkhianati. Aleksis dan kawan-kawannya makin eksis. Stagnasi. Membusuk. Apa jalan keluarnya?

Solusinya sederhana. Munculkan pemain baru bermental baru (cerdas, bernas, mujahid pro kaum miskin, cacat, terpinggirkan) dan rezim hari ini cukup sudah. Apa solusi kalian? Aku tunggu.

***

0 comments:

Post a Comment