INI NATALKU: MANA MAULIDMU - Yudhie Haryono

Natal ini mestinya adalah membebaskan bangsa dari dekapan pemimpin culun. Maka, maulid adalah memerdekakan negara dari tipu-tipu sembilan naga. Dan, yang mampu menikmati natal serta maulid subtantif adalah mereka yang berada di jalur kewarasan publik.

Selebihnya adalah mereka yang ilusif dan romantis. Saling fatwa dan berucap selamat tetapi nasib orang miskin masuk jurang krisis.

Dengan kewarasan publik, kita akan tahu problem publik. Kita tahu bagaimana menemukan solusinya. Lalu, apa problem publik terbesar dan solusinya?

Aku tahu. Bahwa problemnya adalah soal warisan kejahatan. Yaitu warisan terburuk yang kita punyai.

Warisan gigantik penjajahan adalah mental dan nalar kolonial. Inti nalar kolonial ada lima yaitu fasis, feodalis, fundamentalis, liberalis dan birokratis.

Dengan lima nalar itu, Indonesia menjadi: 1)Pemasok bahan baku, 2)Pemasok babu, 3)Pengimpor barang jadi, 4)Pengimpor ahli, 5)Produsen broker. 

Memahami hal itu, para pendiri republik berusaha merubahnya dengan sekuat tenaga. Yaitu dengan menggelorakan revolusi nalar.

Apakah itu? Yaitu gerakan berbasis gagasan dari mental konstitusional. Bernalar membuat kita mampu menempatkan dunia sebagai metoda dan bahan sehingga memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginannya.

Dengan gerakan ini maka lahirlah nalar indonesia: memberontak, hibrida, interdependen, multikultural dan adaptif. Jika diperas, nalar Indonesia itu adalah nalar pancasila. 

Revolusi nalar dengan demikian adalah jihad merealisasikan pancasila di manapun dan kapanpun serta oleh siapa saja dan dengan segala daya upaya.

Inilah gerakan besar sehingga melahirkan mental, rasa dan tindakan dahsyat demi tergapainya mimpi berbangsa-bernegara.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi nalar adalah menjadi manusia cerdas, jenius dan berintegritas. Ia harus bekerja keras, bekerja cerdas dan mentradisikan gotong royong.

Revolusi ini harus menjadi gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.

Kini, setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda.

Bukan hanya mengangkat senjata, menikam mati penjajah, tapi membangun jiwa bangsa: jiwa semua penduduknya.

Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Karena membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa.

Ya, dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa dengan nalar merdeka dan berdaulat.

Nalar yang crank; menyempal dari arus utama; mampu memaknai segala peristiwa dengan subtansinya adalah kurikulumnya.

Karenanya, ketika kini natal dan maulid menjadi rerasan dan festival tanpa perlawanan, ia mereaktualisasikan.

Saat natal dan maulud jatuh menjadi kegiatan harian tanpa dentuman, ia merehermenitika. Sebab ia tahu, itu dua peristiwa big bang. Yang membentuk karakter-karakter dan mental pilihan dan unggulan.

Dus, mari kita maknai ulang. Bahwa natal dan muludan adalah "kelahiran kesadaran trias revolusi: mental-nalar-konstitusional yang diarahkan ke elite."

Tanpa itu, natal dan maulid atau muludan hanya sekedar seremoni makan nasi bungkusnya NU dan Muhammadiyah: beratus tahun tak berdentum!

Hanya debat teks dan perulangan jahiliyah antar kiyai kuno dan ustadz televisi. Memuakkan dan menjijikkan. 

Ayok kita natalan. Ayok kita muludan, ayok kita revolusi. Kita tikam mati sembilan naga dan kompradornya yang jadi penghuni istana-dpr-kehakiman-kepolisian yang korupsi dan dungu tiap hari.

***

0 comments:

Post a Comment