DEINDONESIANISASI - Yudhie Haryono

KATA INI TAK PAS BENAR. Tapi mau bagaimana lagi. Terjadi deindonesianisasi dalam arti "asingisasi" yang identik dengan proses pencabutan pemikiran dan tindakan lokal-nasional.

Dan, hampir semua kita mengalaminya. Karenanya, bila tidak melakukan perlawanan secara sungguh-sungguh maka dapat dipastikan kita sudah ditelan mentah-mentah oleh proses itu. Defisit. Lalu, habis. 

Sederhana mengukurnya, bisa dengan perlahan menghitung ulang pengetahuan tentang tokoh-tokoh dunia. Siapa yang lebih kita kenal dan kagumi secara sadar maupun tidak, tokoh-tokoh itu. Siapa yang lebih punya pengaruh kepada diri kita dari mereka.

Apakah kita lebih lancar menghapal Adam Smith, Thomas Aquinas, Archimedes, Thomas Alfa Edison, Winstone Churchill, Montesquieu, Einstein, Hegel, Sigmon Fraud (Barat), Al Kindi, Al Biruni, Ar Razi, Al Farabi, Al Kwarizmi, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Al Kattani, Ibnu Tufail, Ibnu Al Haitsam, Al Zahrawi, Al Ghazaly, Al Fatih, Salahuddin Al Ayubi, Al Makassari, Al Minangkabawi, Al Fansuri, Al Banjari, Al Bantani, Ar Raniri, Al Falembani (Islam), dibanding tokoh Nusantara macam Ratu Syima, Arok, Gajah Mada, Ronggowarsito, Pattimura, Diponegoro, Cut Nyak Din, Hamengkubuwono, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, Soedirman dll?

Harus diakui, generasi kita tidak begitu mengenal dengan baik nama-nama dan pikiran tokoh-tokoh Nusantara.

Sepanjang hidup kita di bangku sekolah sudah dicekoki dengan sosok-sosok asing. Kalaupun ada nama-nama tokoh Nusantara, maka itu hanya sekilas saja, tidak dengan konsep, teori dan banyak hal tentang mereka.

Sumber informasi tentang tokoh dan ilmuwan Nusantara itu disembunyikan dan hilang sejak lama. Padahal kita tahu, merekalah sebab kita di Indonesia: menjadi seperti sekarang. Dus, ilmu dan mental mereka tak kalah dari tokoh-tokoh asing.

Kiranya. Naif dan malang sekali nasib kita yang mengaku warganegara Indonesia ini, tetapi tak berterimakasih pada para pembuatnya: pahlawan putra bangsa.

Lihatlah hari ini, apa yang terjadi pada generasi muda, apakah ada perbaikan? Hasilnya mereka lebih kenal tokoh yang mana? Sudahkah mereka lebih mengenal pikiran, gaya hidup dan teori-teori jenius dari ilmuwan kita?

Saya kira belum ada yang berubah, bahkan semakin parah. Anak-anak lebih hafal dan lebih kenal artis film, artis sinetron, tokoh kartun dan hal-hal yang menjauhkan mereka dari Indonesia. 

Kita sudah terasingkan di negeri sendiri: dari para tokohnya; dari pikiran, ucapan, tulisan dan tindakan mereka. Hampir sempurna. Tidak heran begitu banyak yang gigih berpendirian dan menjadi sosok yang liberalis, sekularis, humanis, feminis, arabis, ontanis dan cungkringis!

0 comments:

Post a Comment