Cerpen "NAMAMU TIDAK-TIDAK" - Yudhie Haryono

 


Untuk ia yang menggentarkan jika kueja namanya. Bahagia tanpa bertemu. Suka cita tanpa pesta. Yang tahu bahasa cina pasti memahaminya. Engkau yang kemarin ikut membahas: 

  1. Diskursus Atlantik
  2. Diskursus Nusantara
  3. Diskursus Indonesia
  4. Diskursus Pancasila
  5. Diskursus Konstitusi
  6. Diskursus Geneologi Pendiri Republik
  7. Diskursus Rempah, Herbal, Emas dan Nuklir
  8. Diskursus Ekopol Mutakhir
  9. Diskursus Kolonialisme dan Neoliberalisme
  10. Diskursus Orientalisme dan Oksidentalisme
  11. Diskursus Arsitektur Indonesia Modern.

Untukmu yang belum mengerti bahwa jihad akbar adalah memerdekakan bangsa dan kaumnya secara terus menerus dari kolonial internasional dan anarki lokal.

Atlantis;

Punah sudah. Kami mencarimu seperti pencarian siang kepada malam. Ada. Dirasa. Tapi tidak bertemu. Saat banjir tiba, engkau bagai perahu. Saat kemarau datang, engkau embun yang tertegun. Belajar tentangmu jadi tindakan subversif. Kini, apa yang sedang kau diskursuskan?

Nusantara;

Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala pernama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati. Kusebut nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya kini tak melambai. Sungainya kering kerontang. Cintanya kini tanpa pantai. Apa yang sedang kau hadirkan?

Indonesia;

Apa yang akan kau lakukan kini. Saat semua senyum tinggal keputusasaan. Setelah sayap-sayapku terpatahkan olehmu. Setelah jiwa-ragaku terkhianati olehmu. Setelah air mataku tergerus habis tak bersisa kecuali darah kesunyian. Saat arti sebuah perasaan yang terdalam dan harga diri sebuah pengorbanan tanpa batas menjadi sia-sia belaka. Dicampakkan sendirian. Apa yang sedang kau rasakan?

Kekasihku;

Aku tau kau kurang-ajar. Sebab lakumu batu. Niatmu tipu-tipu. Mentalmu kuntilanak hantu. Persis nusantara dan indonesia terhadapku. Kini aku versus nusantara. Kini aku melawan indonesia. Dan, hanya bisa tersenyum masam. Sambil menghela nafas dalam-dalam. Sebelum semua tenggelam. Oleh pekat malam dan sejarah kelam. Apa yang sedang kau takdirkan?

Untuk nama yang penuh pesona. Diimpikan sepanjang masa. Kini, semua mati. Menangis tapi tak ada air mata. Sesunggukan tapi tak ada suara. Sedih tapi tak ada guna.

Tentu, aku bahagia mengenal tuan putri. Bunga revolusi yang mencinta Indonesia. Teman berbincang yang sangat baik untuk mentertawakan takdir.

Bermilyar hari memberitahu kita bahwa republik ini bunuh diri. Telah lama kita duduk tertegun. Kagum dan ngungun. Kok bisa begitu banyak agama hidup di sini, tapi penjahat panen tiap detik. Peristiwa anomali. Membuat kita merenungi dan menghayati semua peradaban yang chaos.

Di penghujung senja yang merah menguning. Di penghabisan air wudu di waktu subuh. Yang ada adalah hanya bayang mayat-mayat. Tebarkan keranda. Juga penyakit tak tersembuhkan. Tapi, itu hanya membuat hatiku gelisah resah tak menentu. Buntu.

Semua pasti sirna kecuali ilmu dan amal, katamu suatu kali saat kita lempar tai ke istana. Tapi nujummu itu kini tak faktual. Sebab yang abadi kini hanya keculasan dan pengkhianatan.

Sayank. Sudah seratus tahun saya tak percaya pada usaha cerdas, kejeniusan, hantu, hutan, harapan-harapan, cita-cita, mimpi-mimpi, ilusi-ilusi dan perjumpaan-perjumpaan jaringan. Aku juga sudah tak percaya pada nasib baik dan mukjizat. Makanya kucukupkan diriku jadi tukang ketik.

Aku bisa apa sebab noktah ini kini cuma bergurau ceria menunggu kepunahan.

***


0 comments:

Post a Comment