SESAL DAN HARAP - Yudhie Haryono


 

Di antara gunung Selamet dan sungai Serayu, takdirku lahir tanpa kupinta. Adakah ini sesaji alam raya untuk menjadi manusia yang menyelamatkan sesama? Hanya enigma air Serayu yang tahu jawabannya.

Kemranjen~

Pada akhirnya bukan masa depan. Pada hilirnya hanya tempe mendoan. Kita tak saling berpura-pura. Sesal setelah tua. Kenapa saat itu kita saling curi pandang dan membuat prestasi yang tak ada hubungannya dengan Indonesia? Demi waktu tak terukur angka. Seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri. Ditelan deru desa. Kini kau telah pergi tak kembali. Namun desamu hadirkan senyummu abadi. Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi. Bila hati mulai sepi tanpa terobati. Sambil sebal pada nasib yang dikangkangi. Engkau kini di mana setelah "salafi" merajalela. Engkau kini sedang apa saat "jokowi" makin tak waras mengurus warganegara.

Banyumas~

Melihat mereka yang hidup demi gaji semata. Atas nama tuhan. Atas nama masa depan. Tak ada kemuliaan karena tidak memuliakan inovasi dan industri. Jika itu terjadi, sungguh tak ada jalan dan festival yang layak dirayakan. Tuhan, aku tak ingin hidup seribu tahun seperti penyair itu. Sekali mati. Sebab takut bercinta, revolusi saja. Bukan lek mad. Bukan lek karno. Mereka bedua bapak para revolusi nyambi bercinta. Jemarimu begitu lentik. Senyummu melirik. Kan kusebut namamu dalam tiap jengkal perlawananku. Bermilyar kawan datang dan pergi. Engkau tetap di hati. Sambil membenci begundal yang terus menang. Di republik ini.

Gontor~

Nalarnya tunduk pada hapalan. Dan, sesungguhnya itulah sebodoh-bodoh masa depan. Karnaval masa yang purba. Perayaan kesia-siaan. Hidup segan mati bosan. Tolong ambilkan bulan, saat kalian suka kopi susu. Tak ketemu. Inilah ontologi minus epistemologi. Sejarah tanpa kreasi. Hanya angka-angka dan kode buntut. Walau tak ada kemenangan, gita cita tetap diperdendangkan. Pesantren-pesantren kita yang purba, adalah peradaban gigantik dan tua di muka bumi yang menyebut dirinya dengan syorga: santri yang ditaburi ustad-ustad membentuk kejahiliyahan semesta. Ialah ibu dari mula pendidikan besar nusantara. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya. Tetapi tetap: merasa menang dan masuk syorga. Entah menang apa dan syorga seperti apa.

Jogjakarta~

Antara mesir dan jogjakarta. Aku jatuh cinta. Soal sekolah yang tumpah. Merana bertepuk sebelah. Mirip kisah cinta tiga malam yang kuingat selamanya. Kini seakan mimpi yang buruk. Sepi dalam kesunyian. Bodoh dalam kebodohan. Kualami setiap hari. Kisah yang sudah tiada lagi. Tertelan sejarah perlawanan 98. Ya. Tinggal memori membawa kebusukan kembali. Adakah waktu tersisa. Menjaga kita tetap sekapal perlawanan.

Kediri~

Kota tahu. Kota santri. Dari kerajaan purba yang tak lagi kita temukan reniknya. Aku menetes. Mengayuh becak. Lari dari deru debu kota dan desa. Menanak nasi dan mengurapi kitab-kitab purbakala yang membuat ummat paria. Saat kubelajar, bab taharah. Saat kutidur, bab wudu. Diulang semilyar kali. Lalu saling tikam. Masuk dan selamat sendiri. Di sini ketemu perawan muda. Tak tahu namanya tapi menikmati semalam romansa. Di antara rintik hujan dan rokok-rokok peradaban.

Purwokerto~

Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia. Yah. Kini mereka sedang bahagia saat aku terluka; terjatuh dan sulit bangkit lagi; tenggelam dan tergopoh menelan air setelan-telannya; mabuks. Maka, setiap pulang ke kotamu adalah pulang pada keperihan, menjejer luka-luka. Tapi di sini juga kutemukan perkawanan sejati.

Semarang~

Peradaban dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah bentuknya. Lalu, mati. Ditendang harga diri. Beginilah keadaan diriku. Semangat membara. Tetapi, ini aku yang bukan aku. Hanya aku yang menyejarah lumrah. Dengan hitam legam kulit punggung dan nasibku. Masih mungkinkah pintu hatimu kunikmati. Dengan hati yang pernah kuremukkan. Dengan niat yang pernah kuabsenkan. Dua tiga perempuan tua menjadi nenek-nenek pulang dan menasib di desa masing-masing. Nggelosot melihat Indonesia makin nelangsa.

Jakarta~

Sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Dehumanisasi. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi. Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama. Tetapi, melalui revolusi nalar, selama masih ada lautan yang bisa dilayari; selama masih ada kewarasan agensi; selama masih ada tanah yang bisa ditanami; selama masih ada nilai-nilai yang bisa disemai, selama itu pula masih ada cinta dan harapan. Sebuah harapan dan cita-cita untuk menjadi bangsa berdaulat total: merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Kita harus meretas jalan kedaulatan. Hal yang lama dilupakan para begundal lokal hasil proxy penjajah internasional.

Depok~

Tumbuh. Dalam. Bercabang. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya. Kadang, kepadamu yang mungkin mencintaiku perlu ditulis. Ada yang tak termanai kutengarai. Ada yang tak sanggup kupahami. Ada yang tak terucap dalam hari-hari. Dan semua adalah tentangmu, kekasihku. Selamat berusaha menjaga hati. Selamat berusaha menjadi istri. Selamat berusaha menjadi ibu. Tetaplah semangat menjadi kekasih, istri dan ibu yang terbaik bagi kami dan keluarga kita. Tapi, tuhan dan alam raya berkehendak lain. Air mata ini habis tiada tara.

Carolina~

Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan. Begitulah keadaannya semilyar tahun lalu. Pilu. Keriting berlumur debu. Penuh luka najis dan bau got. Berlari dan berdiri gemetar depan kampus. Gentar. Seingatku, tidak ada hal lain yang terjadi. Hanya menunggu pergantian takdir berlaku saat semua lepas berlalu. Yang lama hampir mati; yang baru tak kunjung menjelma.

Makkah-Madinah~

Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. Jejak kakiku dan kakimu bersimpuh di kota tua dan purba dengan gigil dan jijik tak berkesudahan. Aku muak padamu; denganmu; bersamamu: tuhan, hantu dan hutan.

Indonesia~

Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi. Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil yang mulia.

Cileduk~

Jika kami bersyukur atas cinta dengan pesta kecil dan membagi cindera mata berupa buku, adakah kalian sudi datang? Dari sini untuk yang kesekian kali hidup dimulai kembali. Menanak nasi, merebus air, merumuskan kampus dan mengajari diri sendiri.

Di Hati Kasih~

Hadis paling lucu saat belajar islamic studies sejak dari gontor sampai mamarika adalah yang berbunyi, "doa kaum tertindas dan kaum miskin itu terkabulkan." Abu Hurairah berkata, rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya (HR Abu Daud dan al-Tirmizi).

Lah piye? Kalau makbul berarti gak ada orang tertindas dan gak ada orang miskin lagi dunk. Sebab orang tertindas berdoa agar merdeka dan orang miskin berdoa agar kaya. Nyatanya kaum tertindas dan kaum miskin tetap banyak terutama di ngindonesia.

Jadi jika ada fatwa bahwa setiap doa dikabulkan Tuhan (di dunia), jelas itu ilusi kaum jahiliyah purba.

***

0 comments:

Post a Comment