ARABISME BIN ONTANISME - Yudhie Haryono


 

Arabisme, utangisme dan infrastrukturisme kini sedang berlaga di final liga Indonesia. 3 isme tanpa jeda dan kewarasan akal budi. 3 isme tanpa hati, tanpa nurani.

Lalu, waktu memberi kabar bahwa yang tersisa dari Islam kini tinggal arabisme bin ontanisme. Cirinya tiga: 

  1. Memastikan orang lain di neraka. 
  2. Merasa cukup membaca satu buku (alquran) bisa menjawab semua hal-ikhwal. 
  3. Berkeluh kesah soal-soal asesoris (sampul) bukan subtansi: jilbab, cungkringisme dan jenggotisme.

Ini menjengkelkan karena temuan Philip K Hitti (1886-1978) adalah sebaliknya: "islam adalah perdaban gigantik yang punya tiga warisan: lahir, jihad dan syahid."

Sesungguhnya daya tarik dari Arab adalah kemunculan agama Islam. Ya. Islam sebagai suatu agama, bukan hanya merubah pandangan ekopolsusbudhankam bangsa Arab, namun pengaruhnya begitu meluas ke berbagai aspek kehidupan. Arab, khususnya yang biasa disebut Jazirah Arab sebelum datangnya Islam adalah daerah yang sangat jauh dari unsur-unsur peradaban lain.

Hal ini terjadi karena bangsa Arab dianggap tidak potensial dari segi ekonomi, dan aksesnya sangatlah sulit plus berbahaya. Semua berubah secara drastis manakala Islam berkembang pesat, sehingga menjadi pondasi yang kuat dalam membangun peradaban baru.

Bahkan pada masa dinasti Umayah, Islam menjadi kekuatan dahsyat di dunia yang menimbulkan Pax Islamica dengan penaklukan hingga Spanyol. Kejayaan ini terus bertahan hingga terjadinya perang Salib. Lalu kejayaan Islam lambat laun terus menurun, hancur dan bersisa abunya. 

Kini islam tinggal romantisme dan mitos. Padanya yang dulu punya Tuhan, moral dan jihad, kini tinggal tangis, keluh dan abunya. 

Tak ada lagi teladan. Yang ada hanya kemarahan. Tak ada lagi pengetahuan. Yang ada hanya kejahiliyahan. Tak ada lagi inovasi apalagi penaklukan. Yang ada ribut sendiri dan mati sebelum mati. Maka, belajar islam modern adalah belajar teks (tulisan kehebatan masa lalu). Sedang membaca islam purba adalah mendengarkan kisah dan mitos yang melegenda. Teks dan mitos tentang jalan keselamatan: ummat unggulan, ummat teladan.

Sungguhpun begitu, sejarah peradaban islam menyimpan dan mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme plus melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan ummatnya.

Pertanyaannya, sejauh mana kita bisa memanfaatkan teks dan mitos itu bagi tugas-tugas kemanusisan? Ini menjadi penting karena peradaban islam membawa cacat bawaan kesempurnaan: bibliolateri. Yaitu paham bahwa alquran sudah menjawab seluruh persoalan. Padahal, para ilmuwan membaca ribuan buku masih merasa belum bisa menundukan alam raya. Singkatnya, Islam mengembangkan sejenis penyakit "kutukan kesempurnaan." Hasilnya nir-inovasi dan tuna-industri.

Tesis di atas kini menjadi bukti terbalik. Jika di abad pertengahan dunia berhutang pada islam karena karakteristiknya yang mengajak kritis dan rakus membaca, kini terbalik: islam berhutang pada modernisme: nalar dan multikultural. 

Maka kini, tugas kaum muslim adalah beyond arabisme, beyond ontanisme. Tentu ini kerja raksasa untuk menelaah hubungan teks dan peradaban muslim serta solusi terbaik bagi tumbuh dan berkembangnya islam yang menzaman.

Tanpa kerja raksasa itu, islam tinggal arabisme bin ontanisme: sesuatu yang dulu ditikam mati oleh Muhammad karena fasis-feodalis-fundamentalis-rasis dan jahilis. Persis artis-artis di televisi yang digelari ustad pencari rating dan selebritis.

***

0 comments:

Post a Comment