JUMAT TAK KERAMAT(LAGI) - Yudhie Haryono


Nusantara adalah jejak purba peradaban yang hampir punah. Ketika menjadi Indonesia, rerumputan kering dan mati. Pohon layu. Moralitas ambruk. Sepeninggal para pendirinya, rumah-rumah ibadah ramai tapi sangat sepi dari nilai. Persisnya, senyap tak berpenghuni gagasan. Pohon mangga berbuah, tapi generasi kita tak sudi menyantapnya. Mereka lebih bahagia bersama komoditas asing-asengnya. Ceria jadi milenial tak bernalar revolusi.

Kolam ikan kering. Kolam renang berdebu. Perpusnya mati. Mereka berkata lirih, "buat apa membaca buku kembali? Tokh pejabat kita goblok-goblok sekali." Gitar dan piano terbujur kaku. Lalu mereka berujar, "buat apa bernyanyi kembali jika sedih juga akhirnya."

Padahal semilyar bulan lalu dunia tak ada. Ketika terbentuk, kitalah rupanya. Kita yang pernah mimpi revolusi. Kita paham betapa beratnya meruntuhkan firaun suharto dan kurikulum neoliberalisme.

Kita tentu sangat mencintai ilmu. Lama sudah kita menunggu benih pengetahuan bersemi; tekhnologi beranak pinak. Tetapi kini hampir mati habis nafas semua penghuni. Tak ada lagi seutas harapan tulus cinta kehidupan. Sesuci bidadari.

Tak pernah lupa kita impikan. Bercanda sastra. Kita sadar betapa beratnya meruntuhkan penjajahan. Setelah hampir mati ditelan romusa. Lama sudah kita menunggu terbukanya hati. Tersandranya nalar. Seutas harapan tulus cinta kemerdekaan.

Takkan kita temui. Problema seperti Indonesia. Takkan kita dapatkan. Rasa cinta pada negeri. Takkan kita pedulikan. Rasa penasaran pada penjajahan. Kita bayangkan bila kalian datang kembali. Kita peluk bahagiakan sejarah.

Kita serahkan seluruh hidup kembali menghentakkan. Menjadi penjaga hati nusantara. Penjaga cita dan cinta yang suci. 

Kawan. Sering kali kita temukan. Mahkota bertabur intan permata. Meski kita telah terbiasa. Tambatkan hati. Pada takdirNya. Kini kita hanya mayat sepi penikmat kesunyian tak bertepi. Teman kedunguan. Tak berseri.

Kawan pejuang. Pada indonesia kita berjanji. Padanya kita berbakti. Dalam kesenyapan tak bertepi. Kesedihan tak terperi. Yang para malaikatpun tak kan sanggup memanggulnya. Yang jeniuslah yang akan menemukan solusinya. Mereka yang bersetia kerja raksasa: merealisasikan pancasila.

***

0 comments:

Post a Comment