ECONOMIC SOUVEREIGNITY - Yudhie Haryono (MWA UTIRA)

Tuan-tuan yang kuhormati. Ada baiknya kita fokus dalam mencari solusi dari problema dalam berbangsa dan bernegara. Hal-hal di luar itu cukup dikonsumsi dalam hati. Ke publik kita urus soal publik. Tentu boleh sekali sambil bercanda, meledek dan kutip-kutip rasa susastera. Agar tak bucek. Agar ceria.

Tetapi, kita seperti menuju keentahan. Walau aku sudah merasa berusaha. Juga selalu berusaha. Menulis dan memaparkannya di banyak tempat dan waktu. Tentang pentingnya zaman baru: ZAMAN PANCASILA. Tapi belum laku. Horizon kini masih neoliberalisme. Hubungan daulat modal, di mana saja dan oleh siapa saja. Tiba-tiba sambil menuju Surabaya, Jokowik sms, "kesederhanaan mencerminkan kecerdasan. Ketekunan mencerminkan amanah. Konsistensi mencerminkan konstitusi." 

Sayangnya, setelah menjual kayu, kini kau jual BUMN. Setelah mempailitkan perusahaan, kini kau tumpuk utang negara. Pailit negara kini di depan mata. Apa protokol save the nation yang kalian sodorkan?

Di matra perang kecerdasan, pilihan kita cuma satu: menjadi budak atau menjadi majikan. Konsep dan takdir budak sudah lama kita nikmati. Konsep dan takdir majikan yang belum kita tetapkan.

Menjadi majikan dan tuan di negeri sendiri harus dimulai dengan proklaim kemerdekaan. Proklamasi ini melahirkan negara merdeka (Indonesia). Bagi negara postkolonial, takdirnya akan memilih satu di antara dua keadaan; dua jalan:

Pertama, jalan kedaulatan, kemandirian, kemoderenan, keproduktifan dan kemartabatan. Inilah roadmap yang diimpikan para pahlawan kemerdekaan. Bahu membahu mereka meletakkannya menjadi konstitusi.

Dalam konstitusi itulah trauma, problema dan nasib masa lalu direfleksikan dan dianalisa untuk dibuat solusinya via proyeksi masa depan gemilang.

Kedua, jalan fasisme, feodalisme, fundamentalisme, neotribalisme dan neoliberalisme. Inilah roadmap yang terus dikerjakan para begundal neokolonial. Bahu membahu mereka menciptakan kurikulum, agama, tradisi, agensi dan lembaga semu demi stabilitas perampokan dan status sosial mereka yang tak boleh tergantikan.

Dalam jalan ini, problema negara merdeka disuntik lagi dengan problema baru: kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, konflik dan ketergantungan. 

Sesungguhnya, ketika memproklamasikan kemerdekaan, para pendiri republik telah menemukan solusinya berupa "jalan konstitusional dan agensi konstitusional."

Jalan ini berupa lima nilai statis: bertuhan, berkemanusiaan, bergotongroyong, bermusyawarah dan berkeadilan (lima sila). Kelimanya harus dikerjakan dengan empat nilai dinamis: melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, mentertibkan (empat tugas negara dlm preambule UUD45).

Sayangnya, elite kita masih memilih keadaan dan jalan kedua. Paria, sengsara, miskin, timpang dan terjajah lanjutan adalah kondisinya. Lihatlah kita, banjir budak dan begundal di mana-mana.

Sungguh ini tragedi kemanusiaan semesta. Sumpah pemuda berubah jadi pemuda sampah. Proklamasi berubah jadi prokonglemerasi. Konstitusi berubah jadi konstitai.

Padahal, tanpa kesadaran semesta, kita tidak punya elite yang memilih jalan pertama. Jalan Pancasila. Jalan warisan yang selalu dikhianati. Jalan keselamatan yang diingkari.

***

0 comments:

Post a Comment