SURAT CINTA - Yudhie Haryono

Untukmu Yang Kurindu~

Sungguh, kata sang bijak, "betapa berliku mencari hikmah cinta yang tiada tara. Tetapi lebih berliku dan berbahaya setelah bertemu dan menjaganya. Bagi kalangan tertentu, merebut lebih mudah daripada mempertahankannya" (Alhikmah Alkarimah: 1909/6).

Benarkah? Dalam himpitan pertanyaan, yang bisa kulakukan kini hanya berdoa agar engkau sembuh seperti sedia kala. Aamiin. Menerjang kembali dan mencari hikmah cinta yang belum ada: di sekujur balatentara.

Dalam liku yang hitam bin gelap negeri. Kuberdiri dan bergerak melawan korupsi dan kolusi; pengkhianatan dan kejahiliyahan. Di sini di kantor dan negeri ini. Telah terkubur semilyar perlawanan. Di hempas keras cukong dan neolib. Tertimbun batu keculasan. Yang takkan mungkin dapat dimenangkan.

Yah. Ada jiwa yang menunggu setia, ada hati yang menunggu bersama, ada nalar yang kosong sejak kalian tak datang ditunggu-tunggu. Menunggu adalah kesialan tersial.

Nasibku, sial dan pucat pasi. Tergores luka di jiwa dan kata-kata. Matamu membuka tangis. Horaskan sepi. Kasih asmara yang telah kalah. Sekalah-kalahnya. Hapuskan semua pembrontakan. Lenyapkan satu tujuan. Ke mana lagi harus kucari pasukan.

Kamu dan kamu kini padatkan sejenak beban negeri. Kalian taburkan benih perlawanan. Tapi tak merawatnya. Mungkin hanyalah tugas sejarah dan tuhan. Melambung jauh terbang terus. Bersama pasukan. Terlelap dalam lautan kesadaran. Setelah aku sigap melawan. Kalian tlah jauh pergi. Tinggalkan duka kejahiliyahan yang tak bertepi.

Kini hanya rasa sakit; sesakit-sakitnya, sepedih pedihnya. Melanda jiwa di dada. Serasa cinta dan nalar melayang pergi entah di mana. Tergerus kemarahan membahana. Menikam mati neoliberalis di sekitar istana.

Kesunyian demi kesunyian makin tebal dalam hidupku kini. Kesunyian yang meluruhkan iman dan airmataku. Mengguncang seluruh sendi-sendi kesedihanku. Tak ada cahaya. Tak ada suara. Tak ada apa-apa.

Jauh sudah peta dan jejak perjalananku. Lelah hati ini menanti revolusi. Mati nalar ini menanti janji cinta yang makin tak pasti. Jalan tak ada tepi. Tapak tak ada ujung. Hari tak ada henti.

Tetapi, kesunyian ganti keramaian hanya akan membuat seluruh dunia menjadi pasar neoliberal. Paham yang hidup dari kisruh dan krisis yang diciptakan. Ahai kesunyian. Engkaulah ibu peradaban dan kehidupan.

***

0 comments:

Post a Comment