CERPEN SABTU - Anonim

 



Jerry~
Di kotaku, Tuhan tuli. Maka ia diseru dengan pengeras suara. Keras sekali memekakkan telinga. Lima kali sehari. Jika subuh dan maghrib, lebih lama dan mendayu-dayu. Tetapi, tetap saja Tuhan membisu. Apalagi yang datang mencarinya di surau itu hanya satu dua nyawa. Lalu, puja-puji dikeraskan. Panggilan diteriakkan. Mereka pikir Tuhan akan dengar. Mereka merasa akan mendapat pahala. Mereka lupa itu tindakan kebodohan. Sebab makin sering diseru, Tuhan malu. "Aku kan tidak budek," kata Tuhan suatu kali padaku.

AQB~
Di hari minggu juga begitu. Sambil nyanyi khusuk, Tuhan diseru. Ia yang di syorga diminta kembali. Membantu manusia keluar dari sengsara. Mereka lupa, saat disalib Tuhan tak bisa apa-apa. Bagaimana mau bantu umat manusia, lah membantu diri sendiri kagak bisa. Tentu saja tuhan tak ada. Tapi manusia malu mengakuinya. Ia terlalu gengsi. Saat yang sama ia terlalu lemah. Maka ia merintih. Terpanggilah tuhan yang tak jelas alamatnya. Sebab jika jelas alamatnya, orang akan berbondong-bondong demo. Seperti guru-guru honorer yang tahu di mana jokowi yang dulu berjanji, berada. Jokowi saja menipu, apalagi tuhan yang tak ada. Maka istana, surau dan gereja sesungguhnya tempat pelampiasan manusia lemah tak berdaya. Saat di mana yang diseru tak ada. Kalaulah ada, ia bisu, tuli dan buta. Persis jokowi di Indonesia.

Alexander~
Dari kaki bumi aku berseru. Menyeruakan ratap tangis para dina. Biar raga sehat sentosa. Bukan berarti meminta. Apalah daya hamba sahaya. Melihat gelap tanpa cahaya. Hanya modal berani. Kami gigih teruji. Selayang pandang aku maju menghentak. Para penindas mencabik-cabik. Ragu tanpa peluru panas. Bukan muka berseri jika hati terbakar. Bukan cinta di hati bila nestapa membara. Akulah sang dina duka nista, namaku.

Soekarno~
Jangan kira revolusi Indonesia itu sama dengan revolusi Soviyet. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mesir. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Kuba. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi RRC. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mexico. Revolusi adalah milik dan tugas kewajiban bangsa dan kewajiban dari pada bangsa itu ialah mencari sendiri. Jangan menjiplak, oleh karena tidak bisa dijiplak. Ayok jiwa revolusi bangun. Bukan sujud dan tangis ngemis ke tuhan dan orang lain. Jihad itu antitesa dari kehinaan.

Hujan~
Jika sudi. Banjirilah kami. Sebanjir-banjirnya. Sebab kini ia bisu. Seperti air hujan yang tak berkata-kata. Menawarkan kedinginan dan kesyahduan. Sebab kini ia tuli. Seperti air bah yang tak berkalimat. Menawarkan kuyup yang tertatih. Sebab kini ia buta. Menawarkan keganjilan dan kemesraan yang tak ada. Nihil. Kosong belaka. Hening. Wening. Ning. Nong. Ning. Gung liwang-liwung.

Johan~
Sepertinya. Semesta mendukung. Sepertinya. Semesta mengkungkung. Dua yang satu dan satu yang dua. Menikah, bersetubuh tetapi tak beranak pinak. Pada tuhan, hantu, hutan dan antuh itu nalarmu melepuh, luruh tak punya pengaruh. Ada gemuruh dan marah tetapi lungkrah.

Kekasih~
Jika saja tanganmu sudi mengusap pipi dan punggungku. Jika saja tanganmu sudi membuang peluh lelahku. Jika saja tanganmu sudi memeluk tubuh lemahku. Jika saja. Ya jika saja. Sebab hari-hari ini begitu panjang dan menyebalkan.

Tuhan~
Jika semua buntu, bisu dan harapan wagu, apa yg harus kami lakukan? Ya Allah, mohon petunjukMu. Aamiin. Tapi aku tahu, sekelilingku cuma penipu, pemberi harapan palsu, berlagak dan berlagu ada ini dan itu. Setelah dilakukan, zoonk dan prank semata. Aku tak tahu motif mereka melakukan itu. Cari makankah? Dendamkah? Cari kepuasankah? Menjadi ilusi dan gilakah karena jokiwi? Cari sensasikah Akalku tak paham dan tak tahu.

Kawan-kawan~
Kini, kalau tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga untuk dicatat, tulislah sesuatu yang berharga untuk diketik dan dikenang. Kalau tak mampu menjadi pahlawan, jadilah sejarawan.(*)

0 comments:

Post a Comment